Senin, 08 Maret 2010

sumber-sumber hukum


PENGERTIAN
Terdapat beberapa pengertian tentang sumber hukum :
Sumber hukum: segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. (KBBI, h. 973).
Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
C.S.T. Kansil  menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan , dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.
Menurut Achmad Ali  sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.
MACAM (PEMBEDAAN) SUMBER-SUMBER HUKUM
Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :
a. Menurut Edward Jenk , bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu :
1. Statutory;
2. Judiciary;
3. Literaty.
b. Menurut G.W. Keeton , sumber hukum terbagi atas :
1. Binding sources (formal), yang terdiri :
- Custom;
- Legislation;
- Judicial precedents.
2. Persuasive sources (materiil), yang terdiri :
- Principles of morality or equity;
- Professional opinion.
SUMBER HUKUM MATERIIL & SUMBER HUKUM FORMAL
Pada umumnya para pakar membedakan sumber hukum ke dalam kriteria :
a. Sumber hukum materiil; dan
b. Sumber hukum formal.
Menurut Sudikno Mertokusumo , Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social, hubungan kekuatan politik, situasi social ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dll.
Sedang Sumber Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah UU, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.
SUMBER HUKUM FORMAL
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
Yang termasuk Sumber-sumber Hukum Formal adalah :
a. Undang-undang;
b. Kebiasaan;
c. Traktat atau Perjanjian Internasional;
d. Yurisprudensi;
e. Doktrin.
1. Undang-undang :Undang-undang di sini identik dengan hukum tertutlis (ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis (ius non scripta). Pengertian hukum tertulis sama sekali tidak dilihat dari wujudnya yang ditulis dengan alat tulis.. dengan perkataan lain istilah tertulis tidak dapat kita artikan secara harfiah, namun istilah tertulis di sini dimaksudkan sebagai dirumuskan secara tertulis oleh pembentukan hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
Undang-undang dapat dibedakan atas :
a. Undang-undang dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya sehingga disebut undang-undang. Jadi undang-undang dalam arti formal tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya.
b. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.
2. Kebiasaan :Dasarnya : Pasal 27 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengatur bahwa: hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam penjelasan otentik pasal di atas dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harusterjun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Traktat atau Perjanjian Internasional :Perjanjian Internasional atau traktat juga merupakan salah satu sumber hukum dalam arti formal. Dikatakan demikian oleh karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.
Dasar hukum treaty: Pasal 11 ayat (1 & 2) UUD 1945 yang berisi :
(1) Presiden dengan persetujuan DPR  menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain;
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luasdan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan /atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
4. Yurisprudensi :Pengertian yurisprudensi di Negara-negara yang hukumnya Common Law (Inggris atau Amerika) sedikit lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di Negara-negara Eropa Kontinental (termasuk Indonesia) hanya berarti putusan pengadilan. Adapun yurisprudensi yang kita maksudkan dengan putusan pengadilan, di Negara Anglo Saxon dinamakan preseden.
Sudikno mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu Negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pundengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa di samping itu yurisprudensi dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Juga yurisprudensi dapat berarti putusan pengadilan.
Yurisprudensi dalam arti sebagai putusan pengadilan dibedakan lagi dalam dua macam :
a. Yurisprudensi (biasa), yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti, yang terdiri dari :
1) Putusan perdamaian;
2) Putusan pengadilan negeri yang tidak di banding;
3) Putusan pengatilan tinggi yang tidak di kasasi;
4) Seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
5. Doktrin :Doktrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut.
Doktrin bukan hanya berlaku dalam pergaulan hukum nasional, melainkan juga dalam pergaulan hukum internasional, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Begitu pula bagi penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam perkara perceraian dan kewarisan, doktrin malah merupakan sumber hukum utama, yaitu pendapat pakar-pakar fiqh seperti Syafii, Hambali, Malik dan sebagainya.

Hukum progresif dan pembaruanhukum di indonesia


by:danang triono y
Semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dapat dipadatkan ke dalam konsep progresivisme. Ada beberapa kata kunci yang layak untuk di perhatikan tatkala kita ingin mengangkat pengertian progresivisme itu.
Kata-kata kunci tersebut antara lain adalah: Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
Hukum Progresif itu harus pro Rakyat dan pro Keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat, keadilan harus didudukan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan dan hal negatif lainnya.
Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagian. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pasca liberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan.
Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia. Ia terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang di lakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatan-kekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. kekuatan-kekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaliknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja.
Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem hukum, berpikir hukum dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku manusia. Di tangan perilaku buruk, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan orang-orang dengan perilaku baik.
Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.
Hukum progresif mendorong peran publik. Mengingat hukum memiliki kemampuan yang terbatas, maka mempercayakan segala sesuatu kepada kekuatan hukum adalah sikap yang tidak realistis dan keliru. Di sisi lain, masyarakat ternyata memiliki kekuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan ini untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah hukum negara. Untuk itu hukum progresif sepakat memobilasi kekuatan otonom masyarakat.
Hukum progresif membangun negara hukum yang berhati nurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur. Kultur yang di maksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih mengutamakan " a state with concience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi : "Bernegara hukum untuk apa?" dan di jawab dengan: "Bernegara untuk membahagiakan rakyat."
Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (rule bound), juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.
Hukum progresif itu merobohkan, mengganti dan membebaskan. Hukum progresif menolak sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk kepada maksim "Rakyat untuk hukum".

Menerobos Kebuntuan Reformasi Hukum Nasional: Solusi untuk Mengawal Dinamika Masyarakat di Era Globalisasi dan Demokratisasi*

oleh:danang triono y




Pendahuluan

Berbicara mengenai hukum, tidak bisa lepas dari pembangunan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Untuk menganalisa pembangunan sistem hukum, maka harus memperhatikan tiga unsur penting yang membangunnya, yaitu perangkat hukum, aparatur hukum dan budaya hukum (Friedmann, 1975). Perangkat hukum yang dimaksud adalah aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat dan ada sanksinya.

Aparatur hukum adalah para pelaku di dalam pembangunan dan pembinaan hukum nasional, mencakup aparat penegak hukum, lembaga pemerintahan negara, lembaga perwakilan rakyat, serta organisasi dan lembaga hukum lainnya. Sedangkan budaya hukum adalah kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam hal pembentukan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan evaluasi aturan-aturan yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal di atas memperlihatkan kepada kita, bahwa reformasi hukum nasional sangat kompleks. Ia bukan hanya sekedar pembentukan peraturan, tapi juga masalah peran serta masyarakat. Oleh sebab itu suatu peraturan/ketentuan hukum dapat dikatakan baik setidak-tidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu secara filosofis dapat menciptakan rasa keadilan, bermanfaat secara sosiologis dan menciptakan kepastian hukum secara yuridis (Radbruch, 1961).


Permasalahan Saat Ini
Dalam rentang waktu panjang kesejarahan bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini seringkali tidak berdaya untuk membantah dan menahan arus kepentingan sekelompok orang yang pada gilirannya justru mengorbankan hak-hak rakyat banyak, yang pada hakekatnya juga mengorbankan misi suci dari hukum itu sendiri. Hukum dalam banyak hal, sebagaimana telah dinyatakan di atas, malah acap kali bermetamorfosis menjadi "lembaga pengesah" kesewenang-wenangan dan "lembaga penghukum" pencari keadilan. Khusus di masa Orde Baru, secara nyata-nyata hukum menjadi alat stabilitas politik, alat penumpuk kekayaan, dan alat pelumas putaran roda pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari pengkerdilan hukum tersebut adalah porak porandanya sistem hukum nasional.
Dalam keadaan seperti itu, maka yang dibutuhkan untuk membangun kembali tatanan hukum yang menjunjung tinggi keadilan adalah merekonstruksi kembali bangunan hukum yang baru dengan landasan cita-cita luhur yang terkandung dalam pembukaan konstitusi, yaitu demokrasi dan keadilan sosial, dengan secara dinamis memberikan perhatian pada perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Hal tersebut sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, yang menyatakan dalam Bab Pendahuluan Bagian Pengantar alinea ketiga bahwa upaya pembenahan situasi krisis multidimensional ini adalah dengan cara "... koreksi terhadap wacana pembangunan Orde Baru sebagai dasar pijakan dan sasaran reformasi."

Namun demikian, reformasi hukum nasional saat ini seakan mengalami kebuntuan karena berbagai “pembatasan dan keterbatasan”, yang antara lain karena hal-hal sebagai berikut:

1. Pertarungan Kepentingan Politik. Akibat pertarungan berbagai kepentingan politik, sistem hukum seringkali dibangun tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, namun orientasinya lebih kepada pemenuhan kepentingan kelompoknya.

2. Orientasi Target. Pembangunan sistem hukum kerapkali terlalu terpaku pada target rencana kerja yang dibuat dengan atau tanpa bantuan dana dari luar negeri, sehingga sering terlambat dalam merespon perkembangan hukum yang terjadi karena dinamika masyarakat, yang berada di luar rencana kerja.

3. Ego Sektoral. Seringkali suatu lembaga pemerintahan mengeluarkan peraturan tanpa menghiraukan apakah hal yang diaturnya itu masuk dalam lingkup tugas dan kewenangannya, atau apakah lembaga lain sudah mengaturnya dalam suatu peraturan yang setingkat. Kemudian, lembaga penegak hukum, dalam hal ini Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, seolah enggan untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada ahli-ahli hukum dengan latar belakang pengabdian yang baik, untuk menjadi Hakim non-karier atau Jaksa non-karier

4. Ikatan Romantisme Masa Lalu. Karena peraturan yang ada mampu mengatasi permasalahan pada masa peraturan itu dibuat, maka pembuat peraturan menganggap bahwa peraturan tersebut masih mampu mengatasi permasalahan yang ada saat ini, padahal nilai-nilai yang hidup di masyarakat pada masa lalu dan saat ini jelas sudah berbeda.

5. Superioritas vs. Inferioritas. Seringkali pembuat peraturan menganggap bahwa urusan membuat dan mengawasi pelaksanaan peraturan adalah urusan penguasa, sehingga rakyat tidak perlu ikut campur dalam pembuatannya, sedangkan rakyat berpikiran bahwa membuat dan mengawasi pelaksanaan peraturan adalah urusan penguasa, sehingga rakyat merasa tidak perlu ikut campur dalam pembuatan peraturan. 

Beberapa “pembatasan dan keterbatasan” pembangunan sistem hukum tersebut akhirnya mengakibatkan permasalahan hukum yang terjadi saat ini, yaitu antara lain:

1. Produksi massal peraturan perundang-undangan, sehingga cenderung tumpah tindih dan kurang berkualitas;

2. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat memberikan kepastian hukum, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

3. Pembuat peraturan tidak responsif terhadap dinamika masyarakat, dan lebih menekankan pada nuansa mengatur dari pada memenuhi kebutuhan masyarakat;

4. Ketidaksingkronan antara peraturan di tingkat pusat dan di tingkat daerah, sehubungan dengan pelaksanaan UU Otonomi Daerah;

5. Tidak adanya koordinasi di antara lembaga-lembaga pemerintah dalam menetapkan peraturan di sektornya masing-masing, mengakibatkan tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan;

6. Lemahnya sistem informasi dan dokumentasi hukum, sehingga menimbulkan kesenjangan pemahaman hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat;

7. Jaksa dan polisi cenderung tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta proses demokratisasi, sehingga berdampak buruk pada pelaksanaan tugas mereka;

8. Hakim kurang berani menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga berbagai permasalahan hukum tidak dapat diselesaikan dengan baik di pengadilan;

9. Status hukum advokat yang tidak jelas, sehingga mempengaruhi pelaksanaan tugasnya dalam memberikan pembelaan hukum;

10. Mahkamah Agung kurang proaktif dalam menanggapi perkembangan dinamika masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat, dsb.


Langkah-langkah Progresif

Dalam rangka menanggulangi permasalahan hukum dalam waktu dekat, perlu diambil langkah-langkah progresif yang harus dilakukan secara bersama-sama antara lembaga-lembaga negara, aparat penegak hukum, dan masyarakat, yaitu sebagai berikut:

1. Presiden memberikan kewenangan kepada suatu lembaga pemerintah untuk melakukan singkronisasi peraturan di bawah UU, mengadakan dan mengkoordinasikan sistem informasi dan dokumentasi hukum nasional dan menentukan/menyeleksi suatu rancangan peraturan yang dapat diusulkan sebagai RUU usulan pemerintah.

Lembaga ini nantinya akan mengkoordinasikan pembuatan peraturan di antara lembaga-lembaga pemerintah dan menilai mana peraturan yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Apabila ditemukan peraturan yang setingkat bertentangan satu sama lain atau bertentangan dengan peraturan di atas, serta penilaian lainnya, seperti tidak kondusif terhadap investasi di Indonesia misalnya, maka lembaga ini dapat mengusulkan kepada Presiden agar mencabut peraturan tersebut, atau mengusulkan kepada MA untuk dilakukan uji materil terhadap peraturan tersebut.

Lembaga ini tidak perlu dibentuk baru, namun cukup dengan memberikan kewenangan di atas kepada lembaga pemerintah yang sudah ada, misalnya Departemen Kehakiman dan HAM, Sekretariat Negara, atau Komisi Hukum Nasional.

2. Pemerintah harus berani menetapkan peraturan pemerintah serta peraturan perundang-undangan dibawahnya menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, untuk mengantisipasi dinamika perkembangan masyarakat yang sangat cepat, apabila dalam UU yang ada tidak dapat memberikan kepastian hukum.

Hal ini perlu dilakukan melalui mekanisme konsultasi publik, dengan ahli dan masyarakat professional di bidangnya, serta tetap menjaga agar lingkup pengaturannya tidak bertentangan dengan UU yang telah ada.

3. Mahkamah Agung di dorong untuk secara proaktif mengeluarkan pendapat hukum kepada Lembaga Tinggi Negara dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan, mengenai suatu permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat.

Berdasarkan UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung, MA memiliki wewenang atas hal tersebut di atas, ketika peraturan yang ada tidak dapat memberikan kepastian hukum atas suatu permasalahan hukum. Hal ini seperti yang pernah dilakukan pada Sidang Istimewa tahun 2001 kemarin, dimana MA mengeluarkan pendapat hukum bahwa Maklumat yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurahman Wahid pada waktu itu adalah tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1988, ketika ada perdebatan mengenai keabsahan microfilm sebagai alat bukti di pengadilan, yang mana Ketua Mahkamah Agung pada waktu mengeluarkan surat dengan nomor 39/TH/88/102/Pid. tertanggal 14 Januari 1988, yang mengakui bahwa microfilm dapat diajukan sebagai alat bukti.

4. Masyarakat harus lebih proaktif dalam mengambil peran yang diberikan oleh UU, sehubungan dengan pengawasan ataupun pelaksanaan UU tersebut.

Dalam beberapa UU, kerap dicantumkan ketentuan mengenai peran serta masyarakat, seperti misalnya UU No. 36/ 1999 tentang Telekomunikasi, yang mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat, yang mana untuk maksud tersebut dapat dibentuk suatu lembaga mandiri. Kemudian juga, dalam UU No. 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga diatur bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen dilakukan oleh Pemerintah, Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dimana diatur secara rinci mengenai hak-hak dari masyarakat melakukan peran sertanya tersebut.

5. Peran serta masyarakat harus lebih ditingkatkan untuk mengawasi produk peraturan perundang-undangan yang mungkin bertentangan dengan peraturan di atasnya dan dapat membawa dampak negatif terhadap masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, apabila ada peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan dengan UU yang relevan, maka masyarakat dapat mengajukannya kepada MA untuk dilakukan uji materil terhadap peraturan tersebut. Sedangkan apabila ada UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR RI, maka masyarakat dapat mengajukan permohonan kepada MPR agar dapat dilakukan uji materil terhadap UU tersebut.

6. Ketua MA tidak perlu ragu-ragu mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat hakim ad hoc, berdasarkan PerMA No. 3/1999 jo. PerMa No. 2/2000 tentang Hakim Ad Hoc, apabila ada suatu permasalahan hukum yang sedang berkembang di masyarakat dan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut di pengadilan dibutuhkan hakim yang memiliki keahlian tertentu.

Hal ini perlu dilakukan penyelesaian perkara di pengadilan serta para pihak yang bersengketa di pengadilan dapat memperoleh keputusan yang berkualitas serta memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Hal ini pernah dilakukan pada masa Presiden BJ Habibie dengan Keppres No. 71/M/1999 untuk mengangkat empat orang hakim ad-hoc untuk pengadilan niaga.

7. Hakim harus berani menggali nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, apabila hukumnya tidak atau kurang jelas, sehingga setiap keputusan atas suatu perkara yang masuk di pengadilan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, sebagaimana diamanatkan UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

8. Jaksa dan Kepolisian tidak perlu ragu untuk belajar dari seorang ahli ataupun menunjuk seorang ahli, baik sebagai saksi ahli maupun staf ahli dalam penyelidikan, yang dapat membantunya dalam menangani perkara-perkara yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan hukum lainnya.

9. DPR harus didesak untuk selektif dalam membuat UU, sehingga pembahasannya menjadi lebih intensif dan menghasilkan UU yang berkualitas, yang mana peran serta masyarakat juga harus tetap dilibatkan, agar UU yang keluar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.


Penutup
Mengawal reformasi hukum nasional bukanlah suatu tugas yang mudah. Namun demikian, hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan bagi kita untuk pasrah dan berdiam diri membiarkan seluruh proses berjalan tanpa arah dan tanpa kendali. Oleh karena itu peran masyarakat sangat penting untuk selalu mengingatkan penguasa agar setiap kebijakan yang diambilnya selalu bertujuan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umum.

Tulisan ini adalah makalah yang pernah penulis sampaikan pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh SMUI pada bulan September 2001

NBAri Juliano Gema

info publik


Rumusan Konvensi Hukum Nasional tentang UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KONVENSI HUKUM NASIONALTENTANG UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEBAGAI LANDASAN KONSTITUSIONAL GRAND DESIGN SISTEM DAN POLITIK HUKUM NASIONAL 
Konvensi Hukum Nasional Tentang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai  Landasan Konstitusional Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 15 s/d 16 Maret 2008 dan dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jakarta.  
Maksud diselenggarakannya kegiatan ini untuk menjaring pemikiran dan masukan-masukan berkaitan dengan pembentukan grand design sistem dan politik hukum nasional, baik yang sifatnya teoretis maupun praktis dalam rangka memperkokoh UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengarahkan sistem dan politik hukum nasional. 
Konvensi Hukum Nasional ini dihadiri lebih kurang 150 (seratus limapuluh) orang peserta, yang terdiri dari : Anggota DPR dan DPD RI, Badan Legislasi DPR RI, Biro Hukum Departemen dan Non Departemen, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, Kepolisian , Komisi Yudisial, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Pers, Komnas HAM, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman Nasional, Akademisi Hukum, Praktisi Hukum, dan Dekan Fakultas Hukum seluruh Indonesia. 
Setelah mengikuti dengan seksama:
1.             Pidato Presiden Republik Indonesia;
2.             Keynote Speech Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3.             Paparan Pengantar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
4.             Presentasi Penyaji yang disampaikan oleh :
a.       AM Fatwa;
b.       Prof.Dr.H.T. Sri Soemantri M, S.H.;
c.       Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.;
d.       Prof.Dr. Mahfud MD, S.H.,MH.;
e.       Prof.Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H.;
f.       Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H.,LL.M.; 
5.             Diskusi yang berkembang dalam Konvensi: Dengan ini disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 
A.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Landasan Sistem dan Politik Hukum Nasional 
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai asas dan norma yang harus dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, dan badan-badan yudisial, serta rakyat pada umumnya.  Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila yang termuat dalam Pembukaan  UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan falsafah dan konstitusional negara. 
  2. Reformasi konstitusi telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk  terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
  3. Hukum dimaknai sebagai kesatuan Asas, norma, lembaga dan proses. Dalam sistem hukum nasional  hierarkis tatanan norma  berpuncak pada konstitusi. Artinya, dalam sebuah negara hukum harus dipegang teguh prinsip  supremasi konstitusi. Konstitusi harus diimplementasikan secara konsisten dalam peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat secara luas. 
  4. Komitmen penting yang telah disepakati dalam proses Perubahan UUD 1945 meliputi lima prinsip yaitu: (1) sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) sepakat untuk mempertahankansistem presidensiil (dalam pengertiansekaligus menyempurnakan agar betul‑betul memenuhi ciri‑ciri umum sistem presidensiil); (4) sepakat untukmemindahkan hal‑hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal‑pasal UUD 1945; dan (5) sepakat untuk menempuh caraadendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945  adalah sumber dari keseluruhan politik hukum nasional.
     B.      Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional 
  1. Konvensi menyimpulkan tentang pentingnya keberadaan suatu Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional (GDSPHN) yang disusun dalam rangka pembangunan hukum nasional dan didasari landasan falsafah Pancasila dan konstitusi Negara, yaitu UUD NRI 1945.
  2. GDSPHN merupakan sebuah desain komprehensif yang menjadi  pedoman bagi seluruh stake holders yang mencakup seluruh unsur dari mulai perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum masyarakat.
  3. Hal sangat penting dalam penyusunan GDSPHN selain secara konsisten berlandaskan kepada falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945 juga harus dilandasi komitmen dan konsistensi penerapan asas-asas umum hukum (General principles of Law) yang merupakan refleksi jati diri bangsa dan kepentingan nasional dengan tetap merespons secara proporsional fenomena globalisasi dan perkembangan hubungan internasional.
  4. Salah satu pilar Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional adalah prinsip bahwa hukum mengabdi pada kepentingan bangsa untuk memajukan negara dan menjadi pilar demokrasi dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu produk hukum yang dihasilkan adalah hukum yang konsisten dengan falsafah Negara, mengalir dari landasan konstitusi UUD 1945 dan secara sosiologis menjadi sarana untuk tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat. 
  5. Persoalan mendasar, terkait grand design Pembangunan Sistem dan Politik Hukum Nasional, adalah bagaimana membuat struktur sistem hukum (legal system) yang kondusif bagi keberagaman sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidang-bidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku. Tegasnya, harus ada kebijakan hukum (legal policy) yang jelas untuk menciptakan kondisi di atas.
  6. Sistem hukum dan konstitusi harus dapat merespon dinamika dan tantangan zaman dan kehidupan bernegara yang bertumpu pada konsensus reformasi. Produk hukum yang dihasilkan harus mencerminkan aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan historis, sehingga kehidupan bangsa dan negara harus berkesinambungan.
C. Budaya Hukum
  1. Pendidikan hukum secara umum yang ditujukan kepada seluruh masyarakat dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum merupakan hal penting dalam menciptakan budaya hukum masyarakat. Proses edukasi dan pembudayaan hukum harus dilakukan terhadap semua lapisan baik penyelenggara negara, aparatur penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya. 
  2. Sejalan dengan pengarahan Presiden RI, bahwa seluruh penyelenggara negara bertanggung jawab terhadap terdiseminasikannya hukum kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga masyarakat memahami hukum secara utuh yang secara langsung merupakan langkah preventif agar tidak terjadi pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang terjadi karena lemahnya diseminasi dan penyuluhan hukum menjadi bagian dari tanggung jawab penyelenggara negara.
  3. Pelaksanaan diseminasi dan penyuluhan hukum adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari penerapan asas fiksi hukum yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu hukum”. Penerapan asas fiksi hukum tanpa dukungan sosialisasi hukum yang baik dapat berakibat tidak terlindunginya masyarakat itu sendiri karena masyarakat dapat terjebak dalam pelanggaran yang mungkin dia tidak ketahui dan kehendaki.
  4. Dari pengalaman yang selama ini berlangsung dapat disimpulkan bahwa sosialisasi hukum merupakan salah satu yang perlu dengan sungguh-sungguh ditingkatkan melalui koordinasi secara nasional, terpola, dan terstruktur secara baik dengan memanfaatkan seluruh infrastruktur pendukung seperti partisipasi aktif masyarakat, media elektronik maupun non elektronik serta saluran-saluran lainnya seperti pemanfaatan teknologi informasi dan lain-lain.
  5. Tindakan law enforcement dalam semua sektor hukum harus selalu dibarengi dengan upaya preventif berbentuk sosialisasi produk-produk hukum. Berhasilnya upaya preventif sehingga tidak terjadi atau tekuranginya pelanggaran hukum akan lebih maslahat dan tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan upaya represif setelah terjadinya pelanggaran.
  6. Sosialisasi dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum dalam rangka menciptakan budaya hukum masyarakat merupakan tugas pemerintah. Dengan demikian penegak hukum dapat melaksanakan fungsi law enforcement sekaligus pengayoman, sesuai dengan tujuan hukum, yaitu keadilan dan ketertiban, karena fungsi hukum itu sendiri selain sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan dan bukan untuk menyengsarakan.  
D. Keseimbangan Hak dan Kewajiban Warga Negara
  1. Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut, walaupun belum sempurna tetapi telah mengarah kepada cita-cita negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi konstitusional. Hal ini ditandai dari adanya jaminan hak-hak asasi manusia.
  2. UUD NRI 1945 telah menempatkan hak asasi manusia pada proporsi yang sangat baik, namun demikian sebagaimana lazimnya pelaksanaan semua hak warga negara, pelaksanaan HAM juga  tidak pernah ada yang absolut karena tetap dibatasi oleh kewajiban penghormatan terhadap hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
E. Grand Design dalam Perencanaan dan Legislasi Nasional 
  1. Proses perencanaan dan legislasi nasional dilakukan melalui penelitian dan pengkajian secara mendalam yang meliputi aspek asas-asas, norma, institusi dan seluruh prosesnya yang dituangkan  dalam suatu Naskah Akademik peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik itu sendiri merupakan landasan dan pertanggungjawaban akademik untuk setiap asas dan norma yang dituangkan dalam rancangan undang-undang.
  2. Penyusunan legislasi harus harmonis secara horisontal dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi secara vertikal. Ketidakkonsistenan terhadap dua unsur tersebut akan berakibat timbulnya biaya tinggi, ketidakpastian hukum, dan konflik kewenangan antar institusi hukum.
  3. Naskah akademik dan RUU yang harus dibuat melalui suatu penelitian dengan memperhatikan nilai-nilai ilmiah normatif dan praktik yang terjadi dan secara konsisten  memperhatikan dan mendasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya produk hukum harus sesuai dan konsisten dengan kaidah yang ada di dalam UUD 1945. Konsistensi semacam ini akan secara optimal memberikan maslahat bagi bangsa dan negara. Dengan kata lain, aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis yang disertai keajegan pada landasan filosofis dan konstitusi harus selalu diperhatikan secara cermat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
  4. Proses harmonisasi harus dimulai dari Naskah akademik, salah satu yang harus dimuat dalam naskah akademik adalah adanya pembahasan komparatif RUU yang akan dibuat dan keterkaitannya dengan hukum positif yang ada. Dengan demikian diperlukan adanya suatu regulasi yang mengatur tatacara dan proses pembahasan Naskah Akademik dalam rangka Program Legislasi Nasional.
  5. Pembangunan hukum tidaklah terlepas dari sejarah, karena itu dengan telah dimulainya reformasi tidaklah berarti kita memulai segala sesuatunya dari nol. Semua hal yang baik yang ada dalam produk-produk hukum positif yang sudah ada harus menjadi modal pembangunan hukum, sementara yang tidak baik dan tidak sesuai lagi harus kita koreksi dan perbaiki. Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan dan tidak pernah berhenti sehingga masalah keadilan, penegakan hukum dan sikap masyarakat terhadap hukum tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditetapkan/berlaku, Selain tidak bijaksana, hal tersebut pada gilirannya juga akan berpotensi mengingkari asas dan kepastian hukum itu sendiri. Menafsirkan hukum dengan metode historis selain metode penafsiran lainnya seperti gramatikal dan sistematis adalah penting untuk dilakukan untuk memahami ’roh’ hukum yang sesungguhnya.
  6. Legislasi yang dilaksanakan dengan baik dapat menjadikan hukum  berfungsi menjadi pemberi arah bagi masyarakat untuk menjadi masyarakat yang baik. 
F. Lembaga Negara dan Tata Hubungan Antar Lembaga 
  1. Perubahan UUD 1945 telah berimplikasi lahirnya banyak lembaga negara atau organ, baik lembaga utama (primary constitution organs) maupun lembaga pendukung/penunjang (state auxiliary body/SAB).
  2. Peran auxiliaries bodies dibutuhkan untuk memperkuat pelaksanaan tugas pelayanan publik, penegakan hukum dan peradilan serta pembentukan dan perencanaan hukum.  Maraknya  kelahiran berbagai SAB perlu ditata dan dikaji ulang urgensi pembentukannya dan eksistensinya secara selektif agar benar-benar bermanfaat dan tidak membebani kinerja dan perekonomian nasional. Kaji ulang tersebut paling tidak mencakup: (a) tingkat kepercayaan keberadaannya; (b) kadar urgensinya; (c) eksistensi dan kinerjanya;dan (d) efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugasnya. Tindak lanjutnya mencakup (a) penguatan dan pemberdayaan SAB yang masih diperlukan; (b) pengintegrasian SAB yang tugas dan fungsinya tumpang tindih; (c) penghapusan atau penggabungan SAB yang tidak mempunyai urgensi dan eksistensi.
  3. Hal yang perlu dicermati adalah bahwa saat ini tata hubungan dan tata kelola lembaga-lembaga utama maupun penunjang tersebut belum jelas sehingga mengakibatkan disharmoni yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Oleh karena itu tata hubungan antar lembaga negara perlu diatur secara tegas dalam perundang-undangan secara khusus. 
G. Wacana Amandemen Kelima 
  1. UUD adalah landasan fundamental bagi kehidupan hukum suatu negara, sehingga perubahan sekecil apapun akan berimbas besar baik terhadap berbagai produk hukum maupun mekanisme ketatanegaraan. Oleh karena itu apabila akan dilakukan perubahan, harus dilakukan dengan sangat hati-hati dengan dilandasi oleh alasan-alasan rasional logis.
  2. Ada  tiga pendapat mengenai wacana amandemen kelima UUD 1945, yaitu: Pertama, kelompok atau arus yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli; Kedua, kelompok atau arus yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen yang ada sekarang, dan; Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau amandemen lanjutan yang di dalam Konvensi ini disebut Amandemen Kelima.
  3. Amanademen UUD 1945 yang telah terjadi adalah suatu fakta yang tidak mungkin dihindari. Perkembangan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam seluruh aspeknya menyebabkan konstitusi nasional harus mengalami berbagai penyesuaian. Pemantapan pelaksanaan UUD 1945 harus terus dilakukan, di samping harus terus dilakukan kajian secara ilmiah dan praktik untuk mengkaji apakah diperlukan amandemen tahap ke-5 UUD 1945.
  4. Sesuai dengan salah satu tugasnya di bidang penelitian dan pengembangan hukum, BPHN harus ikut secara aktif melakukan penelitian dan kajian secara ilmiah  atas perkembangan konstitusi pasca amandemen dan implementasinya dalam hukum positif nasional.
 REKOMENDASI 
  1. Prinsip dan norma konstitusi harus diimplementasikan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan sehingga perlu disusunGrand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional dengan landasan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional dan Pancasila sebagal landasan filosofisnya.
  2. Tindakan law enforcement dalam semua sektor hukum harus selalu dibarengi dengan upaya preventif berbentuk sosialisasi produk-produk hukum.
  3. Dalam pelaksanaan perencanaan dan legislasi nasional diperlukan :
  • Kajian secara selektif terhadap setiap naskah akademik dan RUU yang diusulkan menjadi prioritas program legislasi nasional untuk tercapainya kualitas dan harmonisasi perundang-undangan.
  • Peningkatan koordinasi terhadap mekanisme yang telah berlangsung selama ini, yaitu melalui prosedur pembahasan naskah akademik dalam forum pra prolegnas dalam penetapan prioritas, yang telah dilaksanakan oleh BPHN.
  • Untuk lebih mengefektifkan fungsi dan peran lembaga negara sehingga tidak terjadi benturan dalam pelaksanaan tugasnya maka diperlukan dasar pengaturan mengenai hubungan dan tata kelola lembaga-lembaga utama maupun lembaga-lembaga penunjang.
  • Kajian secara ilmiah mengenai perkembangan konstitusi pasca amandemen dan implementasinya dalam hukum positif nasional harus dilaksanakan secara komprehensif oleh berbagai institusi termasuk oleh BPHN sebagai lembaga yang mempunyai tugas di bidang penelitian dan pengembangan hukum.