Selasa, 23 Februari 2010

SISTEM EKONOMI INDONESIA

Sri-Edi Swasono



PENDAHULUAN

Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin mudah menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa perangai �kemenangan� sistem kapitalisme Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kerakyatan yang melandasinya.



Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan runtuh. Kemudian dari situ ditarik kesimpulan kelewat sederhana bahwa sistem kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya dengan sistem komunisme. Dengan demikian, dari persepsi simplisistik semacam ini, Indonesia pun dianggap perlu berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar-bebasnya dan meninggalkan saja sistem ekonomi Indonesia yang �sosialistik� itu.



Kesimpulan yang misleading tentang menangnya sistem kapitalisme dalam percaturan dunia ini ternyata secara populer telah pula �mengglobal�. Sementara pemikir strukturalis masih memberikan peluang terhadap pemikiran obyektif yang lebih mendalam, dengan membedakan antara runtuhnya negara-negara komunis itu secara politis dengan lemahnya (atau kelirunya) sistem sosialisme dalam prakteknya.



Pandangan para pemikir strukturalis seperti di atas kurang lebihnya diawali oleh fenomena konvergensi antara dua sistem raksasa itu (kapitalisme dan komunisme) a.l. seperti dkemukakan oleh Raymond Aron (1967), bahwa suatu ketika nanti anak-cucu Krushchev akan menjadi �kapitalis� dan anak-cucu Kennedy akan menjadi �sosialis�.

Mungkin yang lebih benar adalah bahwa tidak ada yang kalah antara kedua sistem itu. Bukankah tidak ada lagi kapitalisme asli yang sepenuhnya liberalistik dan individualistik dan tidak ada lagi sosialisme asli yang dogmatik dan komunalistik.



Dengan demikian hendaknya kita tidak terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme vs komunisme seperti dikemukakan di atas. Kita harus mampu mengemukakan dan melaksanakan sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak dan tanggung jawab global kita.

Globalisasi dengan �pasar bebas�nya memang berperangai kapitalisme dalam ujud barunya. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk secara khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa globalisasi perlu kita waspadai namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan inequality yang makin parah, melahirkan �the winner-take-all society� (adigang, adigung, aji mumpung), disempowerment dan impoversishment terhadap si lemah. Tentu tergantung kita, bagaimana memerankan diri sebagai subyek (bukan obyek) dalam ikut membentuk ujud globalisasi. Kepentingan nasional harus tetap kita utamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Yang kita tuju adalah pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.


LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA

Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.



Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama � bukan kemakmuran orang-seorang).



Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.



Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.



Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan �dikembalikan� ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.



Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.


WILOPO �VS- WIDJOJO

Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi negara yang solid, suatu bangsa tidak akan memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan �asas bersama� (bukan �asal tunggal�) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.

Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.

Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai �peningkatan pendapatan perkapita� dan sekaligus �pembagian pendapatan yang merata�, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.

Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh �kontradiksi inheren� yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam.

Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu �Kesejahteraan Sosial�, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna �Kesejahteraan Sosial� itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah �cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak� (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.

Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali).

Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa �sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.).

Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: �segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini�. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan �asas kekeluargaan� berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.


SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?

Dari landasan sistem ekonomi Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No. XXIII/66 dan GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas bahwa ekonomi Indonesia berpedoman pada ideologi kerakyatan. Apa itu kerakyatan dan siapa itu rakyat?

Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.

Sekali lagi, siapa yang disebut �rakyat�? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, �bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?� Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

�Rakyat� adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah �the common people�, rakyat adalah �orang banyak�. Pengertian rakyat berkaitan dengan �kepentingan publik�, yang berbeda dengan �kepentingan orang-seorang�. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut �public interest� atau �public wants�, yang berbeda dengan �private interest� dan �private wants�. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara �individual privacy� dan �public needs� (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa �social preference� berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari �individual preferences�. Istilah �rakyat� memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat �publik� itu.

Mereka yang tidak mampu mengerti �paham kebersamaan� (mutuality) dan �asas kekeluargaan� (brotherhood atau broederschap) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah �rakyat� itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium �vox populi vox Dei�, di mana rakyat lebih dekat dengan arti �masyarakat� atau �ummat�, bukan dalam arti �penduduk� yang 210 juta. Rakyat atau �the people� adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).

Seperti dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki �otokrasi ekonomi�, sebagaimana pula demokrasi politik menolak �otokrasi politik�.

Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah �privatisasi� dalam menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah �privatisasi� tetapi adalah �go-public�, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti �usaha bersama� berdasar atas �asas kekeluargaan�.

PASAL 33 UUD 1945 PERLU DIPERTAHANKAN

Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul �Kesejahteraan Sosial�. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab �Kesejahteraan Sosial� itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan test untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.

Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung Hatta yang dibela oleh Bung Karno karena memangku ide �sosio-nasionalisme� dan ide �sosio-demokrasi�) berada dalam bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja akan diamandemen, tetapi substansi dan dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang dikandungnya akan diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok pemikir dan elit politik yang kemungkinan besar tidak mengenal platform nasional Indonesia.

Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa �Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan�. Perkataan disusun artinya �direstruktur�. Seorang strukturalis pasti mengerti arti �disusun� dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory).

Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 �� Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya ��. Bukankah sudah diprediksi oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya asas kekeluargaan atau brotherhood di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan, keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.

Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat �� Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek ��. Ini kiranya jelas, self-explanatory.

Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila Pasal 33 UUD 1945 dianggap mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan ayat-ayat tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.

Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global solidarity dan global mutuality. Makin berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens, Tony Blair, dll) makin meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).

Memang tidak akan mudah bagi mereka untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki platform nasional, tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka (sebagian ekonom junior) kiranya tidak suka mencoba memahami makna �perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan� (ayat 1 Pasal 33). �Kebersamaan� adalah suatu �mutuality� dan �asas kekeluargaan� adalah �brotherhood� atau �broederschap� (bukan kinship atau kekerabatan), bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial. M. Umer Chapra (2001) bahkan menegaskan bahwa memperkukuh brotherhood merupakan salah satu tujuan dalam pembangunan ekionomi,. Brotherhood menjadi sinergi kekuatan ekonomi utnuk saling bekerjasama, tolong-menolong dan bergotong-royong.

Pura-pura tidak memahami makna mulia �asas kekeluargaan� terkesan untuk sekedar menunjukkan kepongahan akademis belaka. �Asas kekeluargaan� adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia� adalah istilah Indonesia untuk nasionalisme, dan �kerakyatan� adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.(Mubyarto, 2001).

Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai �saudara�, �sederek�, �sedulur�, �sawargi�, �kisanak�, �sanak�, �sameton� dan seterusnya, sebagaimana Al Islam menanggap sesama ummat (bahkan manusia) sebagai �saudara�, dalam konteks rahmatan lil alamin.

Jadi asas kekeluargaan yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan (bukan family system atau kinship) yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa sistem hukum kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku secara temporer, yang berkedudukan sebagai �sementara sebelum diadakan yang baru menurut UUD 1945�, artinya dalam posisi �peralihan�. Jadi yang tidak tahu, lalu ingin menghapuskan ketiga ayat Pasal 33 UUD 1945 itu adalah mereka yang mungkin sekali ingin merubah cita-cita dasar Indonesia Merdeka.

Mengulang yang disinggung di atas, �usaha bersama� dan �asas kekeluargaan� adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, di mana �partisipasi� dalam kehidupan ekonomi harus pula disertai dengan �emansipasi�. Kebersamaan menjadi dasar bagi partisipasi dan asas kekeluargaan menjadi dasar bagi emansipasi. Tidak akan ada partisipasi genuine tanpa adanya emansipasi.

Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun dan keterpurukan ekonomi saat ini, suatu keterpurukan terberat dalam sejarah Republik ini. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini. Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak ikut memperlemah posisi ekonomi Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Pasal 33 UUD 1945 tidak ikut salah apa-apa dalam menghadirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang menjebol Bank Indonesia dan melakukan perampokan BLBI. Bukan pula Pasal 33 yang membuat perekonomian diampu dan di bawah kuratil negara tetangga (L/C Indonesia dijamin Singapore). Bukan Pasal 33 yang menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian membentuk kesenjangan sosial yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional), meminggirkan rakyat dan ekonominya. Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang eksploitatif terhadap rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan rakyat (impoverishment). Lalu, mengapa kita mengkambinghitamkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru mengagung-agungkan globalisasi dan pasar-bebas yang penuh jebakan bagi kita? Pasal 33 tidak menghambat, apalagi melarang kita maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru ekonomi mondial.

Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak seharusnya dirubah, tetapi ditambah ayat-ayat baru, bukan saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi nasional tetapi juga karena tepat dan benar. Kami mengusulkan berikut ini sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan suatu upaya memberi �addendum�, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi otonomi daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.


PENUTUP: SIAPA YANG BERDAULAT, PASAR, ATAU RAKYAT?

Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah �menobatkan� pasar-bebas sebagai �berdaulat�, mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menobatkan pasar sebagai �berhala� baru.

Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.

Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst dst. 1)

1) Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah
sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus �memperpurukkan� petani-petani
kita, justru ketika kita petani sedang panen padi, kita malah mengimpor beras murah dari luar negeri?

Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok penyandang/ penguasa dana (penerima titipan dana dari luar negeri/komprador, para pelaku KKN, termasuk para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama (baca: para penguasa pasar dan penentu pasar).

Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, not to fully rely-on, 2) tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai �alat� ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeliruan besar menganggap pasar sebagai �omniscient� dan �omnipotent� sehingga mampu mengatasi ketimpangan struktural. Adalah naif menganggap �pasar bebas� adalah riil. Lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property rights), tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar.



2) Lihat Sri-Edi Swasono �Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan Kepentingan Internasional�, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21
Maret 1997.

Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila asar kita biarkan bebas sehingga pasar-bebas kita jadikan �berhala� dan kita nobatkan sebagai berdaulat, maka berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 jelas menegaskan rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.

Demikian itulah, apabila kita ingin mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya tidak dirubah, �usaha bersama� dan �asas kekeluargaan� adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan �usaha bersama� dan �asas kekeluargaan� bisa diartikan sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah di dalam berperikehidupan yang menjadi kewajiban agama.

�Kesejahteraan Sosial� sebagai jugul Bab XIV UUD 1945 pun tidak perlu dirubah atau diganti dengan memasukkan perkataan �Ekonomi�, sebab �ekonomi� adalah derivat atau alat untuk mencapai �kesejahteraan sosial� itu.


Prof. Dr. Sri-Edi Swasono : Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI)

ekonomi liberal dan ekonomi kerakyatan


Sebuah tinjauan Ideologis antara Ekonomi Liberal dan Ekonomi Kerakyatan.
Sebagai catatan awal, perlu kita petakan dahulu secara ideologis perbedaan antara Liberalisme, Sosialisme, Kapitalisme dan Komunisme dalam perspektif ekonomi.
Liberalisme dan Sosialisme dibedakan menurut ada/tidaknya peran Negara dalam kebijakan ekonomi. Liberalisme menginginkan lepasnya peran Negara dalam kebijakan ekonomi dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sosialisme sebaliknya.
Kapitalisme dan Komunisme dibedakan menurut kepemilikan. Kapitalisme mengakui kepemilikan Individu, Komunisme meniadakan kepemilikan Individu.
Kita mulai dari Sosialisme. Pada sejarahnya, Sosialisme diajukan Marx sebagai antitesis dari Liberalisme yang menginginkan peran Negara tidak ada dan melepas kepada mekanisme pasar. Maka seharusnya dalam Sosialisme, Negara wajib mengambil peran penuh dalam kebijakan ekonomi. Dikaitkan dengan Komunisme, maka kepemilikan individu tidak diakui. Yang ada adalah kepemilikan Negara.
Padahal, tesis tertinggi Marx tentang Sosialisme adalah tercipta suatu ’society’ tanpa kelas, dan tanpa Negara. Bagaimana mungkin tercipta sesuatu keadaan yang mewajibkan Negara mengambil peran penuh dalam kebijakan ekonomi dan kepemilikan dengan kondisi tanpa Negara ?
Logika yang absurd dari Marx inilah yang menyebabkan Sosialisme-Komunisme sebagai antitesis Liberalisme- Kapitalisme hancur lebih dulu.
Mengapa Marx yang oleh banyak pengagumnya dianggap jenius itu bisa salah ? Menurut saya, Marx sedang tertipu. Dia mengajukan antitesis dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Jika kita pelajari lebih jauh, Ekonomi Liberal dalam arti benar-benar free market dan free trade, seperti yang diimpikan baik oleh Liberalisme Klasik Adam Smith cs maupun Neo Liberalnya Michael Kinsley cs, sebenarnya tidak pernah ada. Saya katakan sekali lagi, tidak pernah ada.
Mengapa ? Karena Dunia tidak satu Negara. Dan setiap Negara, memiliki kepentingannya masing-masing. Kepentingan masing-masing Negara inilah yang menyebabkan mau tidak mau Pemerintah setiap Negara masuk mengambil kebijakan ekonomi demi kepentingannya.
Amerika, yang sering disebut2 Liberal, sebenarnya tidaklah Liberal. Dua Kekuatan utama Republikan dan Demokrat hanya berganti mengambil kebijakan makro ekonomi dengan pendekatan Supply side (Reaganomics) atau Demand side (Keynessian) . Tapi tetap, Pemerintah ikut campur tangan, dengan tujuan kepentingan Nasional Amerika.
Meminjam perkataan Joan Robinson dalam Economic Philosophy: An essay on the progress of economic thought (1962) : ‘The very nature of economics is rooted in nationalism’ .
Tidak akan ada negara yang akan mau melepaskan kepentingan Nasionalnya kepada mekanisme pasar murni. Kecuali Negara Jajahan, atau Negara yang sedang tertipu. Dan tipuan itu adalah ‘Ekonomi Liberal’ nya Adam Smith yang tidak akan pernah ada. Karena sekali lagi, Dunia tidak satu Negara. Dan setiap Negara memiliki kepentingan.
Sampai disini, perlulah disimpulkan dahulu bahwa:
Ekonomi Liberal adalah sistem ekonomi yang tidak pernah ada di dunia ini, karena dunia tidaklah satu negara. Yaitu suatu sistem ekonomi yang menafikan peran negara dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar (free market and free trade).
Yang menarik disini adalah, ekonomi liberal yang sebenarnya tidak pernah ada itulah yang digunakan sebagai alat untuk menipu negara-negara yang tidak mengerti dan melupakan kedaulatan ekonominya sendiri baik sadar atau tidak.
Sekarang, bagaimana dengan Ekonomi Kerakyatan ?
Sebelum masuk mari kita tinjau dahulu Makro-Ekonomi dan Mikro-Ekonomi:
Dari tinjauan Makro Ekonomi yang sering digunakan dalam memahami pertumbuhan, secara umum pilihannya ada dua:
1. Pemerintah melepas kepada mekanisme pasar (Free market and free trade)
2. Pemerintah masuk mengambil kebijakan ekonomi, dengan dua alternatif :
2.1 Pemerintah mendorong Supply Side (Reaganomics/ Republikan)
2.2 Pemerintah mendorong Demand Side (Keynessian/ Demokrat)
Kemudian Micro Economics sering digunakan dalam memahami pemerataan dan sering dikaitkan kepada ‘Welfare State’.
Sampai disini, saya memahami bahwa Ekonomi Kerakyatan bukanlah Liberalis atau Sosialis. Bukan juga sekedar ‘Welfare State’ dalam perspektf mikro ekonomi. Bukan juga sekedar Ekonomi yang mendukung hanya rakyat kecil dengan pendapatan menengah ke bawah. Bukan hanya untuk UKM. Ekonomi Kerakyatan adalah untuk semua golongan, seluruh rakyat Indonesia.
Ekonomi Kerakyatan tidak hanya memikirkan micro economy (pemerataan) , tapi juga pertumbuhan (macro economy). Dari sisi makro ekonomi, Ekonomi Kerakyatan tidak akan membiarkan ekonomi dilepas begitu saja kepada mekanisme pasar. Dia bisa menggunakan pendekatan Supply Side, Demand Side, atau keduanya. Dia lebih tinggi dari sekedar Ekonomi Republikan atau Demokrat.
Ekonomi Kerakyatan adalah jawaban dari kenyataan bahwa setiap Negara memiliki kepentingannya masing-masing. Kata kuncinya yang penting adalah keberpihakan. 

Dari sudut pandang Indonesia, maka Ekonomi Kerakyatan adalah ekonomi yang berpihak bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Ekonomi Kerakyatan adalah Ekonomi yang Berpihak. Berpihak bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Bagaimana posisi peran negara dalam Ekonomi Kerakyatan?
Jika kita kembali kepada penjelasan UUD 1945 dapat dipahami bahwa:
Sistem ekonomi kerakyatan menghindari hal-hal negatif yakni:
a. Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manu-
sia dan bangsa lain;
b. System etatisme dimana negara beserta aparatur ekonomi Negara bersifat
dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit
ekonomi di luar sektor Negara;
c. Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Dari sisi peran Negara, dapat dipahami bahwa Ekonomi Kerakyatan berada ditengah-tengah antara Sosialis dan Liberalis.
Bagaimana dari sisi kepemilikan individu ?
Mari kita kembalikan kepada UUD 1945:
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
dan,
Pasal 28H
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun. **)
**) Amandemen kedua UUD 1945.
Dari sisi kepemilikan individu, dapat dipahami bahwa Ekonomi Kerakyatan berada ditengah-tengah antara Kapitalisme dan Komunisme.
Itulah Ekonomi Kerakyatan. Suatu jawaban terhadap Ekonomi Liberal yang sebenarnya tidak ada, tapi digunakan oleh negara lain untuk menekan kepentingannya, yang membuat hilangnya kedaulatan ekonomi kita selama ini.

apa itu Neoliberialisme???

Ditulis oleh Danang di/pada Februari 23, 2010

Oleh Danang triono y


Neoliberalisme merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung dan ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik[1]Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”. Neoliberalisme kerap dianggap sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal dan globalisasi.[2]
Istilah neoliberalisme sering disalah-artikan. Misalnya, ada sebagian yang menganggap bahwa ekonomi pasar identik dengan neoliberalisme. Menurut B. Herry Priyono, neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi pasar, tetapi tidak semua ekonomi pasar bersifat neoliberal: ekonomi pasar sosial tidak bersifat neoliberal. Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, yang terjadi dalam 30 tahun terakhir tersebut (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) bercorak lebih ekstrem dan gejala ini berlangsung dengan berakhirnya era besar yang disebut embedded lberalism.[3]Neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Neoliberalisme kadangkala dianggap sebagai cara para tuan besar pemodal untuk merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah Perang Dunia II sampai dasawarsa 1970-an.

Walaupun neoliberalisme selalu dikaitkan dengan ekonomi, namun sebenarnya neoliberalisme bukan hanya sekedar ekonomi. Neoliberalisme bervisi tentang manusia dan masyarakat dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Visi neoliberalisme tersebut dapat kita lihat dalam uraian berikut:

Pertama, Visi Antropologis [4]

Neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia: menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Hal itu secara eksplisit diungkapkan Gary Becker dalam karyanya yang berjudul “The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Kedua, virtualisasi Ekonomi
Awal tahun 1980-an terjadi evolusi berpikir: perspektif oeconomicus tidak hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi hidup manusia, tetapi dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarkhi prioritas: sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dsb. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi dengan prioritas yang pertama. Jadi, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Latar Belakang Munculnya Neoliberalisme [5]
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme” (padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja). Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.[6]Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO[7]

Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah: REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme”. [8]

Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke[9], sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara pada: intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME.

Paham ekonomi neoliberal ini, dikemudian hari dikembangkan oleh Milton Friedman. Menurut Milton Friedman, prinsip utama bisnis ekonomi adalah mencari keuntungan. Hanya dengan cara ini, suatu perusahaan akan bertahan dan bisa menghidupi para karyawannya serta CEO-nya. Tetapi, gagasan ini, kemudian banyak ditentang, karena bisnis tidak semata-mata hanya mencari keuntungan tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial: memelihara sumber daya alam dan juga memperhatikan lingkungan sosial bisnis, serta ikut andil mengentaskan pengangguran serta kemiskinan. 
Gagasan Filosofi (Konsep) Neoliberalisme
Pertama, menginginkan sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad ke-19
Kapitalisme abad ke-19 menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah.[10] Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri.[11]
Kedua, mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa
Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah. [12]
Ketiga, menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestic
Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Keempat, memangkas anggaran publik untuk layanan sosial.
Kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah (seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang).Kelima, deregulasi: hambatan dan hukum perdagangan harus dihapus. Keenam, privatisasi: aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”. [13]

Karakter neoliberalisme (dan perbedaan dan persamaannya dengan Liberalisme )[14]
a. Perbedaan
LiberalismeNeoliberalisme
1. manusia dianggap sebagai: homo oeconomicus
2. manusia adalah otonom, bebas memilih
3. wacana politik: sosial demokrat dengan argumen, “kesejahteraan”
4. Meletakkan kebebasan sebagai nilai politik tertinggi.
5. Masih mengakui peran kerajaan/pemerintah dalam arti: sistem kerajaan harus melindungi hak-hak semua rakyat secara adil, bijak dan seksama.
6. Masih mengakui undang-undang kerajaan (pemerintah) dalam arti: semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di depan hukum dan undang-undang
7. Menghendaki peran serta kerajaan dalam pasar bebas dalam arti: menjaga agar tidak terjadi diskriminasi, pemerikasaan barang-barang impor-ekspor harus dilakukan secara hikmat
1. homo oeconomicus dijadikan prinsip untuk memahami semua “tingkah laku manusia”.
2. hal ini dimodifikasi ke arah yang lebih ekstrem: tidak perlu adanya campur tangan pemerintah, batas negara diterobos
3. wacana politik: sosial ekonomis kapitalis dengan argumen “privatisasi aktivitas ekonomi”
4. Meletakkan kebebasan dalam tataran ekonomi, pasar bebas, globalisme.
5. Lebih ekstrem: sama sekali menolak campur tangan pemerintah, bahkan mereka menghendaki segala macam fasilitas umum seharusnya di swastanisasikan
6. Sistem aturan, undang-undang/hukum, ditolak sama sekali, karena hal ini akan menguntungkan pemerintah dan stakeholders lainnya.
7. Tidak menghendaki peran pemerintah dalam pasar bebas. Sehingga peluang akan adanya diskriminasi “terselubung” sangat tinggi (yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin)

b. Persamaan
  • sama-sama mengutamakan hak-hak individu/pribadi
  • sama-sama menghendaki dibatasinya kekuasaan pemerintah/kerajaan, kedaulatan undang-undang
  • kebebaasan untuk menjalankan perusahaan pribadi tanpa adanya aturan administratif yang menghambat aktivitas individu dalam mensejahterakan dirinya.
  • sama-sama menolak kekuasaan yang otoriter yang mengekang individu
  • Desentralisasi
  • dll
Dampak neoliberalisme [15]
  • Industri lokal akan mati
Hambatan perdagangan dibuat dengan tujuan antara lain untuk melindungi industri dan tenaga kerja lokal. Nah, dengan ditiadakannya hambatan perdagangan, maka harga produk dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa lokal akan berkurang. Hal ini mengakibatkan matinya industri lokal perlahan-lahan.

  • Pekerja (karyawan) tidak mendapat perlindungan dari negara
Dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur tangan dalam penentuan gaji para pekerja (karyawan); menurut kaum neoliberal, hal ini merupakan urusan antara pengusaha pemilik modal dan para pekerja (karyawan). Apa akibat dari kebijakan semacam ini? Akibatnya adalah hak-hak pekerja tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara. Pengaturan upah, misalnya, sepenuhnya menjadi kewenangan pengusaha. Nah, masalahnya, apakah pengusaha tidak menindas (atau memberi gaji yang layak) para pekerja?

  • Privatisasi aktivitas ekonomi
Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi, swastanisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi atau dari milik negara menjadi milik swasta (dalam arti aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta). Secara teori, privatisasi aktivitas ekonomi, membantu terbentuknya pasar bebas (neoliberalisme), mengembangkan kompetisi kapitalis (padahal yang lebih penting adalah coopetetition), yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga lebih kompetitif kepada publik. Tetapi teori semacam ini, berakibat negatif, karena layanan publik diberikan ke sektor privat (swasta) yang justru akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk.

  • Konsumen tak terlindungi dari produk-produk yang tak layak dikonsumsi.
Contoh: produk-produk yang telah diubah secara genetika.Bisa terjadi pemalsuan produk.

  • Bergesernya manajemen ekonomi
Ekonomi berbasis persediaan menjadi berbasis permintaan dalam arti negara berkembang yang tadinya kaya akan SDM, sekarang malah menjadi tidak menikmati SDM tersebut karena telah “dirampas dan dikuasai”oleh pemodal, ujung-ujungnya negara berkembang menjadi negara pengemis atas hasil tanahnya sendiri. Perekonomian dengan inflasi dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah; karena bagi neoliberalisme, penganggur adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan.

  • Masalah ekonomi adalah soal “komoditi” Kaum neoliberalisme melihat bahwa seluruh kehidupan adalah sumber laba korporasi perusahaan. Contoh: air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Jadi, dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas semata.

  • Semua pemikiran di luar rel pasar dianggap salahSalah satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, sehingga pada titik tertentu tidak lagi mempunyai makna selain apa yang dilakukan oleh pasar dan pengusaha. Bagi kaum neoliberalisme, politik adalah keputusan-keptusan yang menawarkan nilai-nilai dan hanya satu cara yang rasional untuk mengukur nilai yakni pasar. Selain itu, wilayah politik dianggap sebagai tempat pasar berkuasa dan konsep globalisasi (perdagangan bebas) dijadikan cara untuk perluasan pasar melaui WTO, sehingga neoliberalisme yang “kapitalisme” dianggap sebagai neo-imperialisme.
  • Semakin lebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Kritik terhadap Neoliberalisme[16]
Neoliberalisme dianggap sebagai globalisme yang tak bertanggungjawab terjadap nasib rakyat jelata, rakyat miskin. Neoliberalisme adalah neo-imperialisme, neo-kolonialisme. Mengapa? Karena justru neoliberalisme inilah yang membuka kesempatan bagi kaum kaya untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang secara “halus” namun sangat menyayat. Hasil kebijakan IMF misalnya justru memperkeruh situasi Indonesia dengan menenggelamkan Indonesia dalam suasana hutang luar biasa. Itu tidak lain adalah hasil desain IMF yang notebene salah satu lembaga aktor neoliberalisme yang berada di belakang meja.

Lebih jauh Ignatius Wibowo mencermati gelombang neoliberalisme yang semakin ekstrem. Seiring mencermati, beliau juga mencoba melihat tokoh yang mau menyempurnakan neoliberalisme menjadi lebih “manusiawi”. Tokoh yang ia anggap relevan sebagai pengkritik neoliberalisme (demi kesempurnaan) adalah Jeffrey Sachs yang menulis buku: The End of Proverty (2005). Setelah I. Wibowo meneropong buku tersebut ternyata fokus Sachs adalah orang-orang miskin yang selama ini “dibiarkan” oleh kaum neoliberalisme. Menurut Sachs, penyebab kemiskinan adalah karena tiadanya: human capital (SDM),bussiness capitalinfrastructurenatural capital (SDA), public institutional capital, dan knowledge capital. Untuk keluar dari kemiskinan tidak mungkin dilakukan hanya karena kekuatan sendiri dan orang menjadi miskin bukan semata-mata karena gagal dalam pasar global (bertolak belakang dengan neoliberalisme). Nah, jalan keluar yang ditawarkan oleh Sachs agar orang miskin dapat keluar dari kemiskinannya adalah dengan menggunakan model “clinical economics” dalam arti bahwa penyebab kemiskinan harus dilihat dari berbagai faktor: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dll. Setelah dideteksi semua “penyebab” kemiskinan ini, barulah dicek mana yang lebih urgen ditangani (diobati). Dari perspektif semacam ini, tentu untuk mengatasi kemiskinan tidaklah mungkin hanya memakai satu obat saja berupa pasar bebas (yang bersifat deregulasi). Kemiskinan hanya bisa diatasi jika ditangani secara langsung, memberi bantuan langsung. Ide Sachs ini tidak dapat disimpulkan sebagai ide yang justru menciptakan ketergantungan; ia memang sangat setuju bahwa lebih baik memberi kail daripada memberi ikan. Hanya saja ia juga mengoreksi pola pikir semacam ini: bagaimana orang bisa memancing jika ia lapar; berilah ia makan agar ia bisa berdiri memancing. Orang miskin harus dibantu untuk menjejakkan kaki (to jump start).

Itu sebabnya Sachs selalu menuntut agar negara-negara maju dan kaya menyediakan bantuan untuk membantu negara-negara miskin. [17] Hanya saja bantuan yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan harus jelas: bantuan yang dibagikan kepada public sector itu diarahkan untuk: 1) modal manusia/human capital(kesehatan, pendidikan dan nutrisi), 2) infrastruktur (jalan, listrik, air, dan sanitas serta perlindungan lingkungan; 3) natural capital/modal alami (pemeliharaan keragaman hayati serta ekosistem; 4) modal lembaga publik (administrasi publik yang dikelola baik, sistem penhadilan dan polisi) dan 5) modal pengetahuan (penelitian ilmiah untuk kesehatan, energi, pertanian, cuaca, dan ekologi). Pendeknya, sektor publik harus tetap ada untuk menjalankan kegiatan yang terfokus pada investasi untuk sekolah, klinik, jalan, riset. Dengan pola pikir semacam ini, Sachs mengkritik dan juga keluar dari jalur neoliberal yang sangat anti pada negara. Sachs tidak menyerahkan urusan pengentasan kemiskinan hanya kepada invisible hand atau sistem pasar. Anehnya, Sachs tidak anti-neoliberalisme (tidak antiglobalisasi) karena baginya globalisasi (dan neoliberalisme) sudah bagus, namun yang perlu dibenahi adalah kebijakan publik negara-negara juga campur tangan pemerintah perlu (jangan ditiadakan, sektor publik perlu jangan hanya sektor privat).


[1] Intelektual yang mau menghidupkan kembali liberalisme klasik (tetapi dengan cara “mencampur”) adalah ekonom Inggris (abad 20), John Maynard Keynes, yang kemudian teorinya disebut Keynesian. Teori ekonomi ala Keynesian: mempromosikan suatu ekonomi campuran, yakni baik negara (pemerintah)maupun sektor swasta memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi. Padahal, kaum neoliberalisme anti-pemerintah, antinegara, anti aturan. Tetapi ada yang mesti diperhatikan di sini: REAGANOMICS dan Thatcherisme juga sebenarnya beralirasn leberalisme klasik, tetapi toh tidak dianggap sebagai ancaman neoliberalisme malah kedua paham ini dianggap sebagai salah satu tulang punggung munculnya neoliberalisme, karena memang kedua paham ini anti-negara, anti-pemerintah. Itulah sebabya juga B. Herry Priyono agak kesulitan mendefenisikan apa itu neoliberalisme.
[2] Lihat tulisan Luthfi Assyaukanie tentang Fundamentalisme dan Neoliberalisme dalam situs: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1141
[3] Lihat B. Herry Priyono, Neoliberalisme, http: //www.duniaesai.com/filsafat/Fil44.htm. Embedded liberalisme merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga dekade 1970-an yang intinya: kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara penanam modal dan tenaga kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital.
[4] B. Herry Priyono, Op. Cit.
[5] Lihat Ari Yurino dalam situs http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410
[6] Perang Yom Kippur dikenal dengan nama Perang Ramadhan atau Perang Oktober, karena perang ini terjadi pada 6-26 Oktober 1973 antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah. Perang ini merupakan kelanjutan dari perang enam hari yang terjadi pada tahun 1967 antara Israel melawan gabungan tiga negara Arab (Mesir, Yordania dan Suriah). Ketiga negara ini mendapat bantuan aktif dari IrakKuwait, Arab Saudi, Sudan, dan Aljazair. Pemicu perang ini adalah “ketidakpuasan” orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1957. Arab tetap tidak mengakui keberadaan Israel dan Arab menyerukan penghancuran negara Yahudi.
[7] Banyak yang menduga bahwa IMF, World Bank dan WTO adalah pendukung neoliberalisme bahkan kedua lembaga ini merupakan penyebab suburnya neoliberalisme. Karena lembaga-lembaga ini memiliki kesempatan besar untuk memaksa negara-negara berkembang (miskin) untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam tataran pasar bebas dengan istilah kren demi “structural adjustment, ‘penyesuaian struktural’). Ujung-ujungnya adalah banyak negara berkembang yang justru semakin banyak hutangnya.
[8] Reaganomics diambil dari nama Ronald Reagan (AS), sedangkan Thactherisme diambil dari nama Margaret Thatcher (Inggris). Mereka adalah pemimpin negara maju yang menjadi pengkut neoliberalisme. Mereka mempropagandakan kebebasan individu dan kompetisi yang bebas dimplementasikan dan disebarluaskan dalam sebuah sistem ekonomi. Persoalan kemiskinan individu tidak lagi menjadi persoalan bagi negara karena hal tersebut adalah hal lumrah dalam kompetisi: pasti ada yang tidak mampu bertarung dalam kompetisi dan yang tidak mampu inilah yang menjadi MISKIN.
[9] Salah satu ide John Locke adalah manusia memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil keputusan, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, bebas tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan. Lihat Ari Yurino, Op.cit.
[10] Lihat Ari Yurino, Tentang Neoliberalisme, http: //rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410
[11] Ibid., Ari Yurino
[12] Ibid., Ari Yurino
[13] lihat Farid Gaban, Inti Pandangan Neoliberalisme, http: //bagusalfa.blogspot.com/2006/12/inti-pandangan-neoliberalisme.html
[14] Bagian ini dirangkum dari http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme
[15] Lihat Ari Yurino, op. cit
[16] bagian ini, lebih banyak merujuk pada uraian I. Wibowo, Akhir Neoliberalisme Sachs?, http: www.kompas.com/kompas-cetak/o50/opini/214671.html.
[17] Sachs menuntut bantuan dari negara kaya sebesar 135 miliar dollas AS (2006) dan tahun 2015 harus naik menjadi 195 dollar AS (untuk sampai pada target Millenium Development Goals)
sumber:Postinus Gulö

Definisi Sosiologi Pendidikan

feb 23,2010 - Danang

Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.
Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:
  1. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
  2. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolongapplied sociology.
  3. Menurut ProfDR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
  4. Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
  5. Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
  6. Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA
H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Danang. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://danatryone.blogspot.com, diakses 23 feb 2010)