Rabu, 10 Maret 2010

Memahami Pemikiran Max Weber

oleh:danang triono yunif


Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa depan.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologiMax Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’ dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-masalah agama dan politik.
[1]Saripuddin.blogspot.com
[2]sarip hasan

pemikiran KARL MARX (1818 - 1883)


Karl Marx, pelopor utama gagasan "sosialisme ilmiah" dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman, Ayahnya ahli hukum dan di umur tujuh belas tahun Karl masuk Universitas Bonn,juga belajar hukum. Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Jena.
Entah karena lebih tertarik, Marx menceburkan diri ke dunia jurnalistik dan sebentar menjadi redaktur Rheinische Zeitung di Cologne. Tapi, pandangan politiknya yang radikal menyeretnya ke dalam rupa-rupa kesulitan dan memaksanya pindah ke Paris. Di situlah dia mula pertama bertemu dengan Friederich Engels. Tali persahabatan dan persamaan pandangan politik mengikat kedua orang ini selaku dwi tunggal hingga akhir hayatnya.
Marx tak bisa lama tinggal di Paris dan segera ditendang dari sana dan mesti menjinjing koper pindah ke Brussel. Di kota inilah, tahun 1847 dia pertama kali menerbitkan buah pikirannya yang penting dan besar The poverty of philosophy (Kemiskinan filsafat). Tahun berikutnya bersama bergandeng tangan dengan Friederich Engels mereka menerbitkan Communist Manifesto, buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Cologne untuk kemudian diusir lagi dari sana hanya selang beberapa bulan. Sehabis terusir sana terusir sini, akhirnya Marx menyeberang Selat Canal dan menetap di London hingga akhir hayatnya.
Meskipun ada hanya sedikit uang di koceknya berkat pekerjaan jurnalistik, Marx menghabiskan sejumlah besar waktunya di London melakukan penyelidikan dan menulis buku-buku tentang politik dan ekonomi. (Di tahun-tahun itu Marx dan familinya dapat bantuan ongkos hidup dari Friederich Engels kawan karibnya). Jilid pertama Das Kapital, karya ilmiah Marx terpenting terbit di tahun 1867. Tatkala Marx meninggal di tahun 1883, kedua jilid sambungannya belum sepenuhnya rampung. Kedua jilid sambungannya itu disusun dan diterbitkan oIeh Engels berpegang pada catatan-catatan dan naskah yang ditinggalkan Marx.
Karya tulisan Marx merumuskan dasar teoritis Komunisme. Ditilik dari perkembangan luarbiasa gerakan ini di abad ke-20, sangat layaklah kalau dia mendapat tempat dalam urutan tinggi buku ini. Masalahnya, seberapa tinggi?
Faktor utama bagi keputusan ini adalah perhitungan arti penting Komunis jangka panjang dalam sejarah. Sejak tumbuhnya Komunisme sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah masa kini, terasa sedikit sulit menentukan dengan cermat perspektif masa depannya. Kendati tak seorang pun sanggup memastikan seberapa jauh Komunisme bisa berkembang dan berapa lama ideologi ini bisa bertahan, yang sudah pasti dia merupakan ideologi kuat dan tangguh serta berakar kuat menghunjam ke bumi, dan sudah bisa dipastikan punya pengaruh besar di dunia untuk paling sedikit beberapa abad mendatang.
Pada saat kini, sekitar seabad sesudah kematian Marx, jumlah manusia yang sedikitnya terpengaruh oleh Marxisme sudah mendekati angka 1,3 milyar banyaknya. Jumlah penganut ini lebih besar dari jumlah penganut ideologi mana pun sepanjang sejarah manusia. Bukan sekedar jumlahnya yang mutlak, melainkan juga sebagai kelompok dari keseluruhan penduduk dunia. Ini mengakibatkan kaum Komunis, dan juga sebagian yang bukan Komunis, percaya bahwa di masa depan tidak bisa tidak Marxisme akan merebut kemenangan di seluruh dunia. Namun, adalah sukar untuk memantapkan kebenarannya dengan keyakinan yang tak bergoyah. Telah banyak contoh-contoh ideologi yang tampaknya sangat punya pengaruh penting pada jamannya tapi pada akhirnya melayu dan sirna. (Agama yang didirikan oleh Mani bisa dijadikan misal yang menarik). Jika kita surut ke tahun 1900, akan tampak jelas bahwa demokrasi konstitusional merupakan arus yang akan jadi anutan masa depan. Berpegang pada harapan, tampaknya memang begitu, tapi sekarang tak ada lagi orang yang yakin segalanya sudah terjadi sebagaimana bayangan semula.
Sekarang menyangkut Komunisme. Taruhlah seseorang percaya sangat dan tahu persis betapa hebatnya pengaruh Komunis di dunia saat ini dan di dunia masa depan, orang toh masih mempertanyakan arti penting Karl Marx di dalam gerakan Komunis. Politik pemerintah Uni Soviet sekarang kelihatannya tidak terawasi oleh karya-karya Marx yang menulis dasar-dasar pikiran seperti dialektika gaya Hegel dan tentang teori "nilai lebih." Teori-teori itu kelihatan kecil pengaruhnya dalam praktek perputaran roda politik pemerintah Uni Soviet, baik politik dalam maupun luar negerinya.
Komunisme masa kini menitikberatkan empat ide: (1) Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup bergelimang papa sengsara. (2) Cara untuk merombak ketidakadilan ini adalah dengan jalan melaksanakan sistem sosialis, yaitu sistem di mana alat produksi dikuasai negara dan bukannya oleh pribadi swasta. (3) Pada umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem sosialis ini adalah lewat revolusi kekerasan. (4) Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.
Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum Marx. Sedangkan ide keempat berasal dari gagasan Marx mengenai "diktatur proletariat." Sementara itu, lamanya masa berlaku kediktatoran Soviet sekarang lebih merupakan hasil dari langkah-langkah Lenin dan Stalin daripada gagasan tulisan Marx. Hal ini tampaknya menimbulkan anggapan bahwa pengaruh Marx dalam Komunisme lebih kecil dari kenyataan yang sebenarnya, dan penghargaan orang terhadap tulisan-tulisannya lebih menyerupai sekedar etalasi untuk membenarkan sifat "keilmiahan" daripada ide dan politik yang sudah terlaksana dan diterima.
Sementara boleh jadi ada benarnya juga anggapan itu, namun tampaknya kelewat berlebihan. Lenin misalnya, tidak sekedar menganggap dirinya mengikuti ajaran-ajaran Marx, tapi dia betul-betul membacanya, menghayatinya, dan menerimanya. Dia yakin betul jalan yang dilimpahkannya persis di atas rel yang dibentangkan Marx. Begitu juga terjadi pada diri Mao Tse Tung dan pemuka-pemuka Komunis lain. Memang benar, ide-ide Marx mungkin sudah disalah-artikan dan ditafsirkan lain, tapi hal semacam ini juga berlaku pada ajaran Yesus atau Buddha atau Islam. Andaikata semua politik dasar pemerintah Tiongkok maupun Uni Soviet bertolak langsung dari hasil karya tulisan Marx, dia akan peroleh tingkat urutan lebih tinggi dalam daftar buku ini.
Mungkin bisa diperdebatkan bahwa Lenin, politikus praktis yang sesungguhnya mendirikan negara Komunis, memegang saham besar dalam hal membangun Komunisme sebagai suatu ideologi yang begitu besar pengaruhnya di dunia. Pendapat ini masuk akal. Lenin benar-benar seorang tokoh penting. Tapi, menurut hemat saya, tulisan-tulisan Marx yang begitu hebat pengaruhnya terhadap jalan pikiran bukan saja Lenin tapi juga pemuka-pemuka Komunis lain, jelas punya kedudukan lebih penting.
Juga ada peluang untuk diperdebatkan apakah penghargaan atas terumusnya Marxisme tidak harus dibagi antara Karl Marx dan Friederich Engels. Mereka berdua menulis "Manifesto Komunis" dan Engels jelas punya pengaruh mendalam terhadap penyelesaian final Das Kapital. Meskipun masing-masing menulis buku atas namanya sendiri-sendiri tapi kerjasama intelektual mereka begitu intimnya sehingga hasil keseluruhan dapat dianggap sebagai suatu karya bersama. Memang, Marx dan Engels diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam buku ini walaupun yang dicantumkan cuma nama Marx karena (saya pikir saya benar) dia dianggap partner yang dominan dalam arti luas.
Akhirnya, sering dituding orang bahwa teori Marxis di bidang ekonomi sangatlah buruk dan banyak keliru. Tentu saja, banyak dugaan-dugaan tertentu Marx terbukti meleset. Misalnya, Marx meramalkan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis kaum buruh akan semakin melarat dalam perjalanan sang waktu. Jelas, ramalan ini tidak terbukti. Marx juga memperhitungkan bahwa kaum menengah akan disapu dan sebagian besar orang-orangnya akan masuk ke dalam golongan proletar dan hanya sedikit yang bisa bangkit dan masuk dalam kelas kapitalis. Ini pun jelas tak pernah terbukti. Marx juga tampaknya percaya, meningkatnya mekanisasi akan mengurangi keuntungan kaum kapitalis, kepercayaan yang bukan saja salah tapi sekaligus juga tampak tolol. Tapi, terlepas apakah teori ekonominya benar atau salah, semua itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pengaruh Marx. Arti penting seorang filosof terletak bukan pada kebenaran pendapatnya tapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak. Diukur dari sudut ini, tak perlu diragukan lagi Karl Marx punya arti penting yang luarbiasa hebatnya.
Perkembangan filsafat saat ini tidak dapat dipungkiri. Berawal dari filosof beraliran klasik seperti Socrates, Aristoteles, Hipokrates, dan filosof yang beraliran ilmu alam menyebabkan munculnya para filosofis yang mengkaji ilmu sosial. Karl Marx sosok manusia yang tempramennya tidak mau diatur, jorok, dan acak-acakan. Tempramennya itu tidak dapat hilang dan terbawa hingga dewasa. Munculnya ia telah melahirkan beberapa tokoh filosof yang beraliran sosialisme. Bahkan teorinya di bidang sosial dan politik telah mendapat respon oleh pemikir lainnya. 
Tidak disadari hadirnya Karl Marx menimbulkan ajaran-ajaran seperti Komunisme, Marxisme dan Leninisme yang berdampak di Indonesia. Pelarangan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme seperti peristiwa berdarah 1965 di seluruh Indonesia, menumpahkan banyak darah, air mata, dan kepedihan. Ada banyak anak yang kehilangan ibu, isteri kehilangan suami, bapak kehilangan puteri dan seterusnya, karena “dipertautkan” dengan segala sesuatu yang “dipersangkakan” sebagai marxisme, leninisme atau komunisme tersebut.
Pelarangan itu, jika direnungkan, juga telah membawa dampak dalam pergerakan sosial. Dengan pudarnya kelompok sosial yang mendasarkan teori sosialnya pada marxisme, kalangan islam, nasionalis dan berbagai kelompok lain, kehilangan mitra dialog yang tajam dalam memikirkan ideologi dan berbagai perubahan sosial yang dicita-citakan, misalnya yang menyala pada dasawarsa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Kini, pemikiran sosial tampak terasa tumpul dan kering.
Istilah marxisme sendiri yang tertulis di buku ini sebutan bagi pembakuan ajaran Karl Marx yang dilakukan oleh Friedrich Engels dan Karl Kautsky. Dalam pembakuan itu, terjadi penyedehanaan-penyederhanaan terhadap pemikiran Karl Marx yang sebenarnya sangat ruwet, agar sesuai dengan ideologi perjuangan kaum buruh. Baik ajaran komunisme atau “Marxisme-Leninisme” dan Marxisme yang dirumuskan Engels dan Kautsky, oleh banyak pengamat dianggap menyimpang dari apa yang dimaksudkan Marx sendiri. Bahkan Marx sendii berucap “Yang saya tahu, saya bukan Marxis”.
Jiwa revolusioner Marx dan ketidakmampuan melihat penderitaan manusia melahirkan sebuah peryataan pada hakikatnya yang membuat manusia menjadi homohumanis adalah kerja. Dengan bekerja manusia mencapai kenyataan sepenuh-penuhnya dan dalam aktivitas bekerja pula manusia mengadakan diri tidak seperti dalam keadaan kesadaran secara intelektual, melainkan secara berkarya senyatanya, sehingga ia memandang dirinya sendiri dalam dunia yang diciptakan sendiri. Marx mencitrakan manusia ke dalam posisi emansipatoris, hal demikian berarti ia menghilangkan segala sesuatu yang menghalang-halangi manusia secara positif menghumanisasikan manusia. Untuk mencapai kodratnya sebagai makhluk tertinggi maka kondisi objektif dari keadaan materi manusia harus tetap menjadi faktor dominan berhadapan dengan kesadaran.
Pemikiran Karl Marx yaitu filsafat materialisme memperlihatkan adanya keterhubungan dengan dengan materialisme lama. Sumbangan yang diberikan Karl Marx adalah, materialismenya mengarah kepada keterlibatan manusia sebagai subjek kesadaran. Marx berhasil mengatasi materialisme dualistis yang disebutnya vulgar serta materialisme mekanistis abad 18, namun tesis Marx menjadi berat sebelah ketika mereduksikan seluruh ketergantungan manusia pada alam materi.
Karl Marx berfilsafat materialisme dialektis berawal dari tesis dan ia berusaha menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan kuantitas benda akan melahirkan sebuah perbedaan-perbedaan ke tingkat kualitas. Tesis yang ditulis Karl Marx mengungkapkan pula bahwa ide hanyalah fungsi dari materi yang kompleks, fungsi ini mendapatkan tempatnya dalam kehidupan sosial manusia. Karena diacu sebuah tesis dasar bahwa kehadian manusia tidak ditentukan oleh kesadarannya, tetapi lebih ditentukan oleh percaturannya dalam pengalaman material. Disinilah faktor pentingnya hubungan antara manusia dan alam yang diungkapkan Marx dalam karya ini.
Buku ini mengajak berpikir secara filosofis ala Karl Marx, yang didalamnya terdapat Filsafat Materialisme Dialektis maupun Materialisme Historis yang senantiasa menekankan faktor manusia. Panggilan dan renungan humanisme yang terdapat pada buku ini menjadi bopeng ketika penyadaran etis yang dianjurkan harus diselesaikan lewat cara-cara revolusi dan kekerasan, yakni pertentangan yang justru merusak citra kemanusiaan. Dan perlu dicatat buku ini menjadi pengantar kepada pemikiran Karl Marx yang lebih luas.



DIPOSTING OLEH:danang triono yunif

tinjauan-konflik sosial-ambon berdasarkan teori konflik karl-marx

ditulis oleh danang triono y/11/03/10


A.PENDAHULUAN
Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.
Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.
Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx.
B.PERMASALAHAN
Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang yang bisa kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an, ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad—namun mengabaikan hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan—telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh karena warga Muslim telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat, demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja—terlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat dahsyat.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau material semata.
C.PEMBAHASAN
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk. Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara empiris.Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.
D.PENUTUP
Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.
Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan material, seperti yang telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan di muka.
Jika memang benar suatu konflik didasarkan perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William Liddle, kondisinya tidak terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran, bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak terlalu membesar-besarkan masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak akan mengancam kepentingan, cara hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle mengemukakan, sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui seorang Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama lain. Dalam konteks teori konflik Marx—seperti yang juga telah saya kemukakan di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik —yang seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam dua versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen (misalnya pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal yang sebaliknya yaitu ketakutan orang Kristen pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi atau ketika ICMI mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi kesempatan untuk berpoltik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya.
Gejolak antar golongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi, tampaknya lebih memprihatinkan dibandingkan konflik agama oleh karena kebijakan ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada tingkat kemakmuran 210 juta rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak besar pada kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa reformasi ini.
Jalan kekerasan seperti yang dilakukan pada rejim Soekarno dan Soeharto, seharusnya tidak dipergunakan lagi di masa kini. Jikapun terpaksa dilakukan, biasanya dilakukan lebih merupakan kebijakan terakhir (policy of the last resort) atau senjata pamungkas (ultimum remedium) yang hanya dipakai jika lawan politik rejim yang berkuasa dianggap sudah tidak dapat diisolasi kembali atau terlalu merongrong kewibawaan pemerintah.
Tantangan yang dihadapi Gus Dur, atau siapa saja yang menjadi presiden pada masa reformasi jelas lebih rumit. Sebab Presiden sekarang tidak mempunyai alat-alat kekerasan yang kebal hukum, yang bisa bertindak semena-mena seperti pernah dilakukan oleh ABRI sebagai alat dari pemerintahan otoriter. Presiden kini hanya memiliki tiga alat utama untuk berpolitik : pengabsahannya sebagai presiden demokratis, kebijakan ekonomi yang bisa menciptakan kemakmuran umum sebagai basis bagi dukungan politik selanjutnya dan keterampilan taktis untuk menggalang dukungan tersebut.
Kegagalan para pemimpin partai pada masa demokrasi parlementer—yang tidak berhasil bertahan lama, apalagi melestarikan demokrasi di Indonesia—sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.
Para politisi yang berkuasa pada masa kini sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang apa yang harus mereka lakukan, terutama pemerataan di bidang ekonomi—berupa kesejahteraan rakyat—dan partisipasi politik rakyat, yang menurut Marx terbukti merupakan faktor yang sangat penting dalam mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.
Namun terlepas dari teori Marx, dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah yang perlu diperhatikan, yaitu : adanya aturan-aturan kapitalisme domestik dan global, merupakan suatu kenyataan ekonomi universal yang tak terelakkan dan suatu kesempatan emas bagi Pemerintah Indonesia untuk memakmurkan masyarakatnya sambil menciptakan stabilitas politik yang demokratis. Diseluruh dunia, penantang kapitalisme dan pengabaian hak-hak politik rakyat, sudah kalah telak dan tidak lagi menawarkan alternatif yang bisa dipercaya, bahkan Republik Rakyat Cina telah memberlakukan sistem perekonomiannya menjadi kapitalis. Rupa-rupanya RRC belajar banyak dari peristiwa runtuhnya Rusia, oleh karena telah melakukan kesalahan fatal dengan melakukan suatu “Big Jump” melalui Revolusi Rusia pada paruh pertama abad ke-20 (±1917-an), dimana masyarakat Rusia yang pada saat tersebut sebagian besar masih dalam tahapan Feudal Society ingin segera melompat (big jump) menuju scientific communism society. Padahal Marx mengajarkan bahwa, perkembangan masyarakat harus melalui tahapan-tahapan linier yang dimulai dari ancient communism society hingga menuju scientific communism society, dimana sebelum menuju scientific communism, harus terlebih dulu melewati tahapan Capitalist Society, suatu hal yang tampaknya dilakukan oleh RRC saat ini, dan selamat hingga saat ini.
Sebagian besar aktivis dan pemikir “kiri” Indonesia, tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi serta berupaya sekuat mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun cara-cara kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang memungkinkan orang kuat (konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta petani, pedagang dan pengusaha kecil) di dalam negeri. Langkah terpenting sesungguhnya adalah menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan demokrasi sebagai semacam floor (landasan) bukanceiling (plafon). Ia merupakan—kalau bukan sebagai syarat mutlak—kerangka yang paling berguna untuk membangun sebuah rumah nasional yang modern pada jaman reformasi ini. Pemerataan kemakmuran dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi, khususnya penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya kemungkinan besar akan dijalankan oleh kapitalisme domestik dan internasional.
Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan datang dengan sendirinya, seperti hujan dan langit mendung. Ia harus diperjuangkan, antara lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru, penggalangan kekuatan politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di tingkat legislatif dan eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan efektif oleh administrasi negara.
Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis politik indonesia yang mendambakan pemerataan kemakmuran dan demokrasi substantif, harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan cara-cara baru untuk mewujudkannya.
*)Makalah penulis saat menuntut ilmu pada sarjana S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.
[1]Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985
[2]Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z. Lawang,Gramedia, Jakarta, 1986
[3]Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi, Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000
[4]Ibid
[5]Pendapat Thamrin Amal Tomagola, pada saat perkuliahan
[6]Zuryawan Isvandiar Zoebir blog Zoebir’s Blog