Selasa, 23 Februari 2010

apa itu Neoliberialisme???

Ditulis oleh Danang di/pada Februari 23, 2010

Oleh Danang triono y


Neoliberalisme merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang biasanya dialamatkan kepada sekelompok penguasa dan intelektual di Barat yang mendukung dan ingin menghidupkan kembali gagasan-gagasan liberalisme klasik[1]Neoliberalisme adalah kata lain dari “liberalisme baru”. Neoliberalisme kerap dianggap sebagai pendukung pasar bebas, ekspansi modal dan globalisasi.[2]
Istilah neoliberalisme sering disalah-artikan. Misalnya, ada sebagian yang menganggap bahwa ekonomi pasar identik dengan neoliberalisme. Menurut B. Herry Priyono, neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi pasar, tetapi tidak semua ekonomi pasar bersifat neoliberal: ekonomi pasar sosial tidak bersifat neoliberal. Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk pada gejala yang mirip dengan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, yang terjadi dalam 30 tahun terakhir tersebut (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) bercorak lebih ekstrem dan gejala ini berlangsung dengan berakhirnya era besar yang disebut embedded lberalism.[3]Neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja pemodal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Neoliberalisme kadangkala dianggap sebagai cara para tuan besar pemodal untuk merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah Perang Dunia II sampai dasawarsa 1970-an.

Walaupun neoliberalisme selalu dikaitkan dengan ekonomi, namun sebenarnya neoliberalisme bukan hanya sekedar ekonomi. Neoliberalisme bervisi tentang manusia dan masyarakat dengan cara pikir ekonomi yang khas sebagai perangkat utama. Visi neoliberalisme tersebut dapat kita lihat dalam uraian berikut:

Pertama, Visi Antropologis [4]

Neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia: menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Hal itu secara eksplisit diungkapkan Gary Becker dalam karyanya yang berjudul “The Economic Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Kedua, virtualisasi Ekonomi
Awal tahun 1980-an terjadi evolusi berpikir: perspektif oeconomicus tidak hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi hidup manusia, tetapi dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarkhi prioritas: sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dsb. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi dengan prioritas yang pertama. Jadi, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Latar Belakang Munculnya Neoliberalisme [5]
Ada klaim bahwa awal munculnya neoliberalisme dilatar-belakangi oleh hancurnya “liberalisme” (padahal bisa jadi hal ini hanya salah satu faktor saja). Liberalisme dianggap gagal karena ternyata belum juga berhasil mengentaskan kemiskinan umat manusia. Seiring dengan hancurnya liberalisme, pada tahun 1973 terjadi krisis minyak: mayoritas negara penghasil minyak Timur Tengah (TT) melakukan embargo terhadap As dan sekutunya; serta melipat-gandakan harga minyak dunia. Hal ini dilakukan oleh TT sebagai bukti “reaksi” mereka terhadap AS yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.[6]Keputusan TT ini ditanggapi serius oleh para elit politik negara-negara sekutu AS dan mereka pun saling berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana menjadi dominan, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga ditingkat global di IMF dan World Bank (WB), dan WTO[7]

Pada tahun 1975-80an, di AS, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul “Anarchy, State, and Utopia”, yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah: REAGANOMICS; dan di Inggris, Keith Joseph menjadi penggagas “Thatcherisme”. [8]

Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran John Locke[9], sedangkan Thatcherisme dikaitkan dengan pemikiran liberal John S. Mill dan A. Smith. Walaupun Locke dan Mill serta Smith sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya tetap bermuara pada: intervensi negara harus berkurang sehingga individu lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang kemudian di sebut: NEOLIBERALISME.

Paham ekonomi neoliberal ini, dikemudian hari dikembangkan oleh Milton Friedman. Menurut Milton Friedman, prinsip utama bisnis ekonomi adalah mencari keuntungan. Hanya dengan cara ini, suatu perusahaan akan bertahan dan bisa menghidupi para karyawannya serta CEO-nya. Tetapi, gagasan ini, kemudian banyak ditentang, karena bisnis tidak semata-mata hanya mencari keuntungan tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial: memelihara sumber daya alam dan juga memperhatikan lingkungan sosial bisnis, serta ikut andil mengentaskan pengangguran serta kemiskinan. 
Gagasan Filosofi (Konsep) Neoliberalisme
Pertama, menginginkan sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad ke-19
Kapitalisme abad ke-19 menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Yang menjadi penentu utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah.[10] Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri.[11]
Kedua, mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa
Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah. [12]
Ketiga, menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestic
Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Keempat, memangkas anggaran publik untuk layanan sosial.
Kurangi anggaran sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah (seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang).Kelima, deregulasi: hambatan dan hukum perdagangan harus dihapus. Keenam, privatisasi: aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”. [13]

Karakter neoliberalisme (dan perbedaan dan persamaannya dengan Liberalisme )[14]
a. Perbedaan
LiberalismeNeoliberalisme
1. manusia dianggap sebagai: homo oeconomicus
2. manusia adalah otonom, bebas memilih
3. wacana politik: sosial demokrat dengan argumen, “kesejahteraan”
4. Meletakkan kebebasan sebagai nilai politik tertinggi.
5. Masih mengakui peran kerajaan/pemerintah dalam arti: sistem kerajaan harus melindungi hak-hak semua rakyat secara adil, bijak dan seksama.
6. Masih mengakui undang-undang kerajaan (pemerintah) dalam arti: semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di depan hukum dan undang-undang
7. Menghendaki peran serta kerajaan dalam pasar bebas dalam arti: menjaga agar tidak terjadi diskriminasi, pemerikasaan barang-barang impor-ekspor harus dilakukan secara hikmat
1. homo oeconomicus dijadikan prinsip untuk memahami semua “tingkah laku manusia”.
2. hal ini dimodifikasi ke arah yang lebih ekstrem: tidak perlu adanya campur tangan pemerintah, batas negara diterobos
3. wacana politik: sosial ekonomis kapitalis dengan argumen “privatisasi aktivitas ekonomi”
4. Meletakkan kebebasan dalam tataran ekonomi, pasar bebas, globalisme.
5. Lebih ekstrem: sama sekali menolak campur tangan pemerintah, bahkan mereka menghendaki segala macam fasilitas umum seharusnya di swastanisasikan
6. Sistem aturan, undang-undang/hukum, ditolak sama sekali, karena hal ini akan menguntungkan pemerintah dan stakeholders lainnya.
7. Tidak menghendaki peran pemerintah dalam pasar bebas. Sehingga peluang akan adanya diskriminasi “terselubung” sangat tinggi (yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin)

b. Persamaan
  • sama-sama mengutamakan hak-hak individu/pribadi
  • sama-sama menghendaki dibatasinya kekuasaan pemerintah/kerajaan, kedaulatan undang-undang
  • kebebaasan untuk menjalankan perusahaan pribadi tanpa adanya aturan administratif yang menghambat aktivitas individu dalam mensejahterakan dirinya.
  • sama-sama menolak kekuasaan yang otoriter yang mengekang individu
  • Desentralisasi
  • dll
Dampak neoliberalisme [15]
  • Industri lokal akan mati
Hambatan perdagangan dibuat dengan tujuan antara lain untuk melindungi industri dan tenaga kerja lokal. Nah, dengan ditiadakannya hambatan perdagangan, maka harga produk dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa lokal akan berkurang. Hal ini mengakibatkan matinya industri lokal perlahan-lahan.

  • Pekerja (karyawan) tidak mendapat perlindungan dari negara
Dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur tangan dalam penentuan gaji para pekerja (karyawan); menurut kaum neoliberal, hal ini merupakan urusan antara pengusaha pemilik modal dan para pekerja (karyawan). Apa akibat dari kebijakan semacam ini? Akibatnya adalah hak-hak pekerja tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara. Pengaturan upah, misalnya, sepenuhnya menjadi kewenangan pengusaha. Nah, masalahnya, apakah pengusaha tidak menindas (atau memberi gaji yang layak) para pekerja?

  • Privatisasi aktivitas ekonomi
Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi, swastanisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi atau dari milik negara menjadi milik swasta (dalam arti aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta). Secara teori, privatisasi aktivitas ekonomi, membantu terbentuknya pasar bebas (neoliberalisme), mengembangkan kompetisi kapitalis (padahal yang lebih penting adalah coopetetition), yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga lebih kompetitif kepada publik. Tetapi teori semacam ini, berakibat negatif, karena layanan publik diberikan ke sektor privat (swasta) yang justru akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk.

  • Konsumen tak terlindungi dari produk-produk yang tak layak dikonsumsi.
Contoh: produk-produk yang telah diubah secara genetika.Bisa terjadi pemalsuan produk.

  • Bergesernya manajemen ekonomi
Ekonomi berbasis persediaan menjadi berbasis permintaan dalam arti negara berkembang yang tadinya kaya akan SDM, sekarang malah menjadi tidak menikmati SDM tersebut karena telah “dirampas dan dikuasai”oleh pemodal, ujung-ujungnya negara berkembang menjadi negara pengemis atas hasil tanahnya sendiri. Perekonomian dengan inflasi dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah; karena bagi neoliberalisme, penganggur adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan.

  • Masalah ekonomi adalah soal “komoditi” Kaum neoliberalisme melihat bahwa seluruh kehidupan adalah sumber laba korporasi perusahaan. Contoh: air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Jadi, dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas semata.

  • Semua pemikiran di luar rel pasar dianggap salahSalah satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, sehingga pada titik tertentu tidak lagi mempunyai makna selain apa yang dilakukan oleh pasar dan pengusaha. Bagi kaum neoliberalisme, politik adalah keputusan-keptusan yang menawarkan nilai-nilai dan hanya satu cara yang rasional untuk mengukur nilai yakni pasar. Selain itu, wilayah politik dianggap sebagai tempat pasar berkuasa dan konsep globalisasi (perdagangan bebas) dijadikan cara untuk perluasan pasar melaui WTO, sehingga neoliberalisme yang “kapitalisme” dianggap sebagai neo-imperialisme.
  • Semakin lebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Kritik terhadap Neoliberalisme[16]
Neoliberalisme dianggap sebagai globalisme yang tak bertanggungjawab terjadap nasib rakyat jelata, rakyat miskin. Neoliberalisme adalah neo-imperialisme, neo-kolonialisme. Mengapa? Karena justru neoliberalisme inilah yang membuka kesempatan bagi kaum kaya untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang secara “halus” namun sangat menyayat. Hasil kebijakan IMF misalnya justru memperkeruh situasi Indonesia dengan menenggelamkan Indonesia dalam suasana hutang luar biasa. Itu tidak lain adalah hasil desain IMF yang notebene salah satu lembaga aktor neoliberalisme yang berada di belakang meja.

Lebih jauh Ignatius Wibowo mencermati gelombang neoliberalisme yang semakin ekstrem. Seiring mencermati, beliau juga mencoba melihat tokoh yang mau menyempurnakan neoliberalisme menjadi lebih “manusiawi”. Tokoh yang ia anggap relevan sebagai pengkritik neoliberalisme (demi kesempurnaan) adalah Jeffrey Sachs yang menulis buku: The End of Proverty (2005). Setelah I. Wibowo meneropong buku tersebut ternyata fokus Sachs adalah orang-orang miskin yang selama ini “dibiarkan” oleh kaum neoliberalisme. Menurut Sachs, penyebab kemiskinan adalah karena tiadanya: human capital (SDM),bussiness capitalinfrastructurenatural capital (SDA), public institutional capital, dan knowledge capital. Untuk keluar dari kemiskinan tidak mungkin dilakukan hanya karena kekuatan sendiri dan orang menjadi miskin bukan semata-mata karena gagal dalam pasar global (bertolak belakang dengan neoliberalisme). Nah, jalan keluar yang ditawarkan oleh Sachs agar orang miskin dapat keluar dari kemiskinannya adalah dengan menggunakan model “clinical economics” dalam arti bahwa penyebab kemiskinan harus dilihat dari berbagai faktor: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dll. Setelah dideteksi semua “penyebab” kemiskinan ini, barulah dicek mana yang lebih urgen ditangani (diobati). Dari perspektif semacam ini, tentu untuk mengatasi kemiskinan tidaklah mungkin hanya memakai satu obat saja berupa pasar bebas (yang bersifat deregulasi). Kemiskinan hanya bisa diatasi jika ditangani secara langsung, memberi bantuan langsung. Ide Sachs ini tidak dapat disimpulkan sebagai ide yang justru menciptakan ketergantungan; ia memang sangat setuju bahwa lebih baik memberi kail daripada memberi ikan. Hanya saja ia juga mengoreksi pola pikir semacam ini: bagaimana orang bisa memancing jika ia lapar; berilah ia makan agar ia bisa berdiri memancing. Orang miskin harus dibantu untuk menjejakkan kaki (to jump start).

Itu sebabnya Sachs selalu menuntut agar negara-negara maju dan kaya menyediakan bantuan untuk membantu negara-negara miskin. [17] Hanya saja bantuan yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan harus jelas: bantuan yang dibagikan kepada public sector itu diarahkan untuk: 1) modal manusia/human capital(kesehatan, pendidikan dan nutrisi), 2) infrastruktur (jalan, listrik, air, dan sanitas serta perlindungan lingkungan; 3) natural capital/modal alami (pemeliharaan keragaman hayati serta ekosistem; 4) modal lembaga publik (administrasi publik yang dikelola baik, sistem penhadilan dan polisi) dan 5) modal pengetahuan (penelitian ilmiah untuk kesehatan, energi, pertanian, cuaca, dan ekologi). Pendeknya, sektor publik harus tetap ada untuk menjalankan kegiatan yang terfokus pada investasi untuk sekolah, klinik, jalan, riset. Dengan pola pikir semacam ini, Sachs mengkritik dan juga keluar dari jalur neoliberal yang sangat anti pada negara. Sachs tidak menyerahkan urusan pengentasan kemiskinan hanya kepada invisible hand atau sistem pasar. Anehnya, Sachs tidak anti-neoliberalisme (tidak antiglobalisasi) karena baginya globalisasi (dan neoliberalisme) sudah bagus, namun yang perlu dibenahi adalah kebijakan publik negara-negara juga campur tangan pemerintah perlu (jangan ditiadakan, sektor publik perlu jangan hanya sektor privat).


[1] Intelektual yang mau menghidupkan kembali liberalisme klasik (tetapi dengan cara “mencampur”) adalah ekonom Inggris (abad 20), John Maynard Keynes, yang kemudian teorinya disebut Keynesian. Teori ekonomi ala Keynesian: mempromosikan suatu ekonomi campuran, yakni baik negara (pemerintah)maupun sektor swasta memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi. Padahal, kaum neoliberalisme anti-pemerintah, antinegara, anti aturan. Tetapi ada yang mesti diperhatikan di sini: REAGANOMICS dan Thatcherisme juga sebenarnya beralirasn leberalisme klasik, tetapi toh tidak dianggap sebagai ancaman neoliberalisme malah kedua paham ini dianggap sebagai salah satu tulang punggung munculnya neoliberalisme, karena memang kedua paham ini anti-negara, anti-pemerintah. Itulah sebabya juga B. Herry Priyono agak kesulitan mendefenisikan apa itu neoliberalisme.
[2] Lihat tulisan Luthfi Assyaukanie tentang Fundamentalisme dan Neoliberalisme dalam situs: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1141
[3] Lihat B. Herry Priyono, Neoliberalisme, http: //www.duniaesai.com/filsafat/Fil44.htm. Embedded liberalisme merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga dekade 1970-an yang intinya: kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara penanam modal dan tenaga kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital.
[4] B. Herry Priyono, Op. Cit.
[5] Lihat Ari Yurino dalam situs http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410
[6] Perang Yom Kippur dikenal dengan nama Perang Ramadhan atau Perang Oktober, karena perang ini terjadi pada 6-26 Oktober 1973 antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah. Perang ini merupakan kelanjutan dari perang enam hari yang terjadi pada tahun 1967 antara Israel melawan gabungan tiga negara Arab (Mesir, Yordania dan Suriah). Ketiga negara ini mendapat bantuan aktif dari IrakKuwait, Arab Saudi, Sudan, dan Aljazair. Pemicu perang ini adalah “ketidakpuasan” orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1957. Arab tetap tidak mengakui keberadaan Israel dan Arab menyerukan penghancuran negara Yahudi.
[7] Banyak yang menduga bahwa IMF, World Bank dan WTO adalah pendukung neoliberalisme bahkan kedua lembaga ini merupakan penyebab suburnya neoliberalisme. Karena lembaga-lembaga ini memiliki kesempatan besar untuk memaksa negara-negara berkembang (miskin) untuk mengambil dan menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam tataran pasar bebas dengan istilah kren demi “structural adjustment, ‘penyesuaian struktural’). Ujung-ujungnya adalah banyak negara berkembang yang justru semakin banyak hutangnya.
[8] Reaganomics diambil dari nama Ronald Reagan (AS), sedangkan Thactherisme diambil dari nama Margaret Thatcher (Inggris). Mereka adalah pemimpin negara maju yang menjadi pengkut neoliberalisme. Mereka mempropagandakan kebebasan individu dan kompetisi yang bebas dimplementasikan dan disebarluaskan dalam sebuah sistem ekonomi. Persoalan kemiskinan individu tidak lagi menjadi persoalan bagi negara karena hal tersebut adalah hal lumrah dalam kompetisi: pasti ada yang tidak mampu bertarung dalam kompetisi dan yang tidak mampu inilah yang menjadi MISKIN.
[9] Salah satu ide John Locke adalah manusia memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil keputusan, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, bebas tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan. Lihat Ari Yurino, Op.cit.
[10] Lihat Ari Yurino, Tentang Neoliberalisme, http: //rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=410
[11] Ibid., Ari Yurino
[12] Ibid., Ari Yurino
[13] lihat Farid Gaban, Inti Pandangan Neoliberalisme, http: //bagusalfa.blogspot.com/2006/12/inti-pandangan-neoliberalisme.html
[14] Bagian ini dirangkum dari http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme
[15] Lihat Ari Yurino, op. cit
[16] bagian ini, lebih banyak merujuk pada uraian I. Wibowo, Akhir Neoliberalisme Sachs?, http: www.kompas.com/kompas-cetak/o50/opini/214671.html.
[17] Sachs menuntut bantuan dari negara kaya sebesar 135 miliar dollas AS (2006) dan tahun 2015 harus naik menjadi 195 dollar AS (untuk sampai pada target Millenium Development Goals)
sumber:Postinus Gulö

Tidak ada komentar: